Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
listaparasalir.wordpress.com
listaparasalir.wordpress.com

Artikel ini merupakan karya peserta kompetisi menulis #CintaDalamKata yang diadakan oleh IDNtimes.com. Kalau kamu ingin artikelmu eksis seperti ini, yuk ikutan kompetisi menulis #CintaDalamKata! Informasi lebih lengkapnya, kamu bisa cek di sini.


 

Setiap orang memiliki cerita menarik di setiap jejaknya. Langkah kecil dengan lancangnya memperkenalkan umatNya untuk mengecap beragam pengalaman hidup. Rasa manis yang membuat hari-hari jadi menyenangkan, harus diselingi kecupan nakal dari kepahitan lain. Terus berulang seperti itu. Hingga terkadang, kebasnya kaki ini mampu mengayunkan langkah manusia menuju titik jengah.

Tidak seperti kisah cinta anak muda kebanyakan. Hatiku harus berpuas diri untuk mencintai sosok yang hanya dapat kutemui dari jejaringan sosial. Kasih sayang dan buaian cinta terangkum dengan manis hanya melalui bahasa ketikan. Ucapan-ucapan manis di tengah malam dan pagi hari, selalu berhasil menjadi ‘nina bobo’ dan alarm keseharianku. Sesederhana itu, sepayah itu, seremeh itu, dan aku terus menjalaninya.

Setiap hari, sepanjang malam, perbincangan mengalir begitu saja. Tidak ada yang kututupi darinya, kuceritakan semua yang aku alami seharian itu. Kubagikan semua canda serta lelucon baru yang kupunya, kuciptakan kehangatan sederhana untuk mempertahankan pembicaraan kami, dengan harapan dia dapat merasakan ketulusan cinta bodohku ini. Terus berulang seperti itu. Hingga terkadang, keyakinan lain di dalam hatiku menyeruak, mengganggu bayangan-bayangan indah yang berhasil kuciptakan di dalam pikiranku.

Aku menyadari ternyata dia memiliki perasaan untuk wanita lain dan tengah mendua dariku.

 

Tentang wanita lain. Ini adalah bagian menyakitkan pertama yang berhasil menyadarkanku dari angan-angan untuk memilikinya. Kusadari ia memiliki perasaan untuk wanita yang lain. Kutangkap maksud cerita-ceritanya yang ingin mengutarakan jika dia tengah mendua. Lalu dengan bodohnya, kuterima. Aku membebaskannya, dan kubiarkan dia menentukan pilihannya. Kuyakinkan dirinya, jika dia tidak akan kehilangan diriku hanya karena mendua. Senaif itu, sebodoh itu, semenyakitkan itu, dan aku terus berusaha mencoba memahami posisinya.

Sebaliknya, seakan semesta adil, seakan malaikat tahu, dia menyesali sikapnya. Himne kebahagiaan melingkupi diriku dengan sangat egois. Mimpi-mimpi indah kembali bersemayam kokoh di setiap malamku, lebih intensif dan memabukkan, membuatku semakin lupa diri.

Untaian penyesalan dan perlakuan manisnya kembali membuatku terlena, hilang fokus pada kehidupan duniaku. Menarik ulur perasaanku dengan sangat lincah dan menggoda. Terus berulang seperti itu. Hingga terkadang aku pun muak menjadi orang yang berbahagia. Terlalu bahagia tetapi tidak dapat kubagikan ke orang lain.

Aku merahasiakan semua ini dari teman-temanku, karena cerita cintaku tak sesempurna mereka.

Tentang teman-temanku. Mereka adalah kekuatanku nomor dua yang akan selalu hadir menyempurnakan setiap kekuranganku. Di mataku, mereka sempurna, itu mutlak. Namun dari kacamataku, aku tidak sesempurna mereka, juga itu mutlak adanya. Gejolak-gejolak keengganan yang kutahan sedemikian lama—sekuat tenaga—seakan meringkihkan harga diriku.

Bagaimana bisa aku bercerita tentang kisah cintaku, jika sahabat-sahabatku memiliki kisah cinta nyata dan sempurna? Sedangkan aku, hanya dapat merengkuhnya dari seuntai teknologi. Sekecil itu keberanianku, sebesar itu gengsiku, semunafik itu pencitraanku, dan mereka tetap tidak kuberitahu.

Semakin kutumpuk gejolak perasaanku, semakin mudah aku termangu. Di satu sisi aku merasa bahagia, namun di lain sisi, harus kuakui, aku seperti membodohi diri sendiri. Melayang terbang hanya melalui rayuan ketik. Seringkali kurasakan keyakinan-keyakinan lain mengganggu rasa bahagiaku saat itu.

Akan tetapi, manisnya perlakuan serta tutur bahasa ketikan yang ia kirimkan padaku, lagi-lagi, berhasil menutupi kegelisahanku dengan kepercayaan naif tak berujung. Terus berulang seperti itu. Hingga suatu hari, saat keyakinan pengganggu itu menjadi nyata, dia menghilang.

Pergi. Menghilang. Meninggalkanku dengan sejuta tanya serta rasa khawatir yang membumbung tinggi. Membuat pikiran ini kacau tanpa dapat kukendalikan. Spekulasi-spekulasi negatif, pertanyaan-pertanyaan menyakitkan, dan ketakutan-ketakutan yang membunuh dengan brengseknya menghantuiku setiap saat.

Ketika mataku terbuka, aku akan melihat keabu-abuan hidupku. Lalu ketika mataku tertutup, semua percakapan-percakapan hangat kami terlintas dengan menyakitkan. Sialnya, aku tidak dapat mengadu pada siapapun. Sahabat-sahabat baikku tidak ada yang mengetahui sosoknya, ingat?

Apa yang dia lakukan padaku begitu kejam. Begitupun diriku, terlampau bodoh terlena oleh godaannya.

Kejam. Itulah gambaranku tentangnya. Bodoh. Itu pun sosok diriku sebenarnya. Manusia kejam bertemu dengan orang bodoh. Ketidakmasukakalan yang harus menghantuiku, menarikku ke dimensi pikiran yang tak terjamah. Namun hal itu nyata. Kehancuran hatiku adalah bayaran atas pertemuan kami. Matinya rasa manusiawiku adalah akibat dari mimpi-mimpi lancang yang kupelihara.

Mungkin itu adalah sentilanNya, karena aku terus-menerus membohongi hati kecilku, karena aku terus-menerus terlena oleh godaan dosa yang terasa menyejukkan, dan karena aku malah lebih mengutamakan cintaku padanya—sosok manusia kejam yang tidak memiliki hati sama sekali. Betapa aku tersiksa menghadapi semua ini. Sumpah serapah bukan lagi hal yang kujaga dengan baik di setiap doaku.

Dalam keterpuukanku, Tuhan membukakan mataku. Aku menemukan duniaku saat aku kehilangan dirinya.

Untung saja, Pencipta Semesta, tidak berlama-lama menghukumku. Ia kembali memelukku, mengusap lembut puncak kepalaku, dan menghapus aliran air mataku melalui para sahabat sejatiku yang senantiasa hadir. Ajaibnya, mereka mengerti keadaanku, memahamiku tanpa meninggalkan keengganan sedikitpun. Mereka bertekad mengembalikan semangatku dengan perlahan, dan berhasil.

Mungkin… kisah cintaku tidak seperti anak muda kebanyakan. Mungkin… aku belum seberuntung sahabat-sahabatku. Namun, dia yang pergi meninggalkanku tanpa kabar, malah memberikanku sebuah kekuatan baru sebagai tameng untuk keteguhan hatiku. Lalu, para sahabat yang sempat kusirami dengan kemunafikan, rupanya, mereka adalah anugerah luar biasa setelah keluargaku, yang dihadiahkanNya untuk kujaga, hingga di persimpangan kefanaanku nanti.

Kemudian, bagian terpentingnya adalah… “I found the universe in me, I found myself, in the way I lost him.”

 

#CintaDalamKata

Editorial Team