Ilustrasi pasangan bahas tujuan jangka panjang (pexels.com/Ketut Subiyanto)
Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu kewajiban suami untuk menafkahi istri. Dilansir laman Nahdlatul Ulama (NU), Ibnu Qasim al-Ghazi dalam Fathul Qarib menjelaskan melalui dalilnya, yakni:
“Nafkah untuk seorang istri yang telah memasrahkan dirinya hukumnya wajib bagi seorang suami.” (Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005], jilid I, hal. 261)
Dari hadis di atas, disimpulkan oleh para ahli fikih bahwa suami berkewajiban untuk menafkahi istri setelah seorang keduanya sah dalam pernikahan. Adapun kewajiban suami untuk menafkahi istri juga dijelaskan di dalam Al-Qur’an.
Dilansir Mahkamah Agung Republik Indonesia, surat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan mengenai pentingnya suami menafkahi istri terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 233. Berikut bunyinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah : 233)
Dari ayat di atas, disimpulkan bahwa ayah si anak diwajibkan memberi nafkah dan pakaian untuk ibu dari anaknya dengan cara yang ma’ruf (baik). Sementara, kewajiban memberi nafkah ini juga perlu memperhatikan kesanggupan sang suami. Namun, bagaimana jika sang ayah atau suami tidak sanggup memberi nafkah kepada keluarganya selama satu bulan?