Tak perlu ada perkenalan, pikirku. Mengetahui namamu saja — dan sedikit informasi tentangmu yang perlu untuk aku ketahui — sudah cukup bagiku. Pun tak perlu ada pembicaraan di antara kita —mendengar suaramu berbicara dengan teman lainnya sudah cukup. Seperti orang dungu, terkadang aku mencoba menjadi lawan bicaramu. Ya — mencoba menjawab segala pertanyaanmu di dalam pikiranku, tapi aku tahu bahwa pertanyaanmu bukanlah untukku.
Lagipula, kita hanya sebatas teman bangku sebelah, yang mana menatapmu saja mataku enggan. Di setiap kedatanganku, kutahu tiada temanmu bercanda; kau hanya sibuk dengan telepon genggammu. Ingin aku mengajak ‘tuk bercerita, tapi aku tahu bahwa berkenalan saja kita tidak pernah. Membiarkanmu hidup seperti tak pernah ada diriku di sekitarmu adalah kelebihanku. Lagipula, adakah kau ingin mengenalku lebih dekat?
Menjadi pengagummu kurasa sudah lebih dari cukup. Bahwa kutahu terdapat makhluk sepertimu, aku merasa bersyukur — ciptaan Tuhan nyatanya selalu rupawan, dan kau adalah salah satunya. Satu yang kusadari, kita memang tidak ditakdirkan bersama, bagaimana pun caranya.