Aku bertemu dengan dia, manusia penggila bakso nomor satu itu, dengan seperangkat perbedaan yang sempat membuatku hampir menyerah, takut di depan akan berhadapan dengan jurang besar yang memisahkan. Aku memang payah sekali, belum terjadi saja sudah terpikir berkali-kali.
Tapi dia meyakinkan aku, bahwa yang memisahkan itu kemungkinan, bukan perbedaan.
Aku tidak pernah suka membaca buku, sedangkan dia adalah kolektor buku-buku sastra klasik, yang bahkan membaca prolog-nya saja aku menguap bosan. Lalu suatu ketika dia memberiku hadiah buku cerita bergambar klasik, di setiap halamannya ada kata-kata yang dia garisbawahi dengan spidol biru.
Kata-kata itu kemudian membentuk dua bait puisi singkat, yang menyatakan betapa dia menyayangiku. Manis bukan? Tapi jauh lebih manis ketika setelahnya, kami sering menghabiskan waktu bersama-sama membahas buku, dia dengan cerita klasiknya, aku dengan cerita bergambarku. Kami melawan perbedaan itu dan menjadikan kami sama, lalu menjalaninya bersama-sama.
Dia tidak pernah suka binatang, sedangkan aku sering memungut kucing liar di jalanan untuk aku pelihara. Dia sering marah-marah kalau aku memilih makan nasi pakai telur sementara kucing-kucingku makan ikan goreng, ketika aku sedang kehabisan uang di akhir bulan. Lalu suatu ketika salah satu kucing yang kupungut meninggal, aku sedih tak kepalang, dia kebingungan.
Dia kemudian datang bawa cangkul dan bebungaan, lalu menguburkan kucingku dengan penuh khidmat. Besoknya, dia membantuku mengurus kucing-kucingku, bahkan menyumbang ikan untuk mereka makan. Kami melawan perbedaan sekali lagi, menjadikan kami kembali sama, dan menjalankannya sama-sama.
Aku tidak pernah suka bakso, tapi kemudian suka berlama-lama duduk di kedainya hanya untuk menatap asap dari mangkuk panas yang mengepul kemana-mana. Dia tidak pernah suka musik folk, tapi kemudian menjadi pemesan tiket konser paling bersemangat ketika musisi folk tampil di kota. Aku tidak pernah suka film action, tapi kemudian malah hapal nama-nama aktor laga kelas dunia. Dia tidak pernah bisa tidur terlalu larut, tapi kemudian sering ikut menemaniku begadang menyelesaikan tugas-tugas.
Perbedaan-perbedaan itu kami lawan, sampai kami kehabisan alasan untuk berkata tidak di setiap hal yang kami pilih, satu sama lain. Apapun yang aku sukai, dia bahkan kadang lebih menyukai. Apapun yang dia tidak sukai, aku bahkan kadang lebih antusias menghindari.
Kami melawan ketakutan yang sama, jurang perbedaan yang sama, kesulitan yang sama, dan berbagi kebahagiaan yang sama. Kami nyaris tidak berbeda, kami sudah menjadi terlalu sama.