Kita Sudah Membuat Cerita di Masa Lalu, Mengapa Tak Kita Selesaikan Sampai di Masa Depan?

Mungkin waktu itu kita hanya sedang bosan, mungkin saat itu kita hanya sedang bersemangat dengan orang-orang baru, mungkin…kita tidak pernah benar-benar berpisah di persimpangan. Karena mungkin, persimpangan itu justru mempertemukan kita kembali di ujung jalan.
Aku tidak pernah mengerti teori tentang move on, entah aku yang terlalu bodoh untuk memahaminya atau aku yang memang tak pernah mau tahu perkara itu. Ketika usiaku menginjak 16 tahun, aku sudah mempersiapkan sebaik mungkin kertas kosongku yang akan kupenuhi dengan cerita-cerita remaja. Orang sering bilang masa itu adalah masa paling bahagia, saat itu aku tidak tahu siapa yang akan menemaniku mengisi kumpulan cerita di lembar kertas itu. Ternyata kamu.
Kau yang sangat biasa saja.
Aku masih ingat, kita berkenalan di dalam kelas saat kau duduk tepat di depanku. Tidak ada hal menarik darimu, rankingmu biasa saja, nilaimu rata-rata, sikapmu juga tak tampak bijaksana. Semuanya biasa saja, kau bahkan bukan tipeku.
Selama 6 bulan, aku mengenalmu dengan baik sebagai teman sekelas. Kau cukup pendiam sehingga aku juga tidak pernah berurusan denganmu seperti anak-anak lain yang suka mengganggu. Hingga suatu ketika aku diminta maju oleh guru Bahasa Indonesia menuliskan paragraf naratif, aku pun maju, menulis di papan tulis. Setelah itu sepulang sekolah, kau menemuiku.
Ketika aku dan kau mulai menulis cerita.
“Kamu suka nulis?” itu pertanyaan pertama yang kau lontarkan padaku. Aku menjawab “Ya” seadanya. Kupikir waktu itu kau ingin memintaku untuk membantumu mengerjakan PR Bahasa Indonesia seperti beberapa teman yang lain. Ternyata bukan.
“Ikut lomba yuk,” ajakmu. Lalu kau yang biasanya diam bercerita panjang lebar tentang kompetisi itu, lomba tim menulis cerita dan membuat ilustrasi. Aku mulai melihatmu bersemangat akan suatu hal, sesuatu yang aku juga suka. Setelah hari itu, “aku” dan “kamu” benar-benar berubah menjadi “kita”. Tanpa perlu bertanya kita menjadi sering menghabiskan waktu bersama, bahkan setelah tulisan dan ilustrasi kita selesai dan dikirim ke panitia lomba.
Entah dari kapan, tapi saat itu kita telah sama-sama yakin, satu sama lain.
Aku tahu apa maksudmu memberiku novel itu.
Di hari ulangtahunku yang ke- 17, aku ingin memastikan “sesuatu” diantara kita. Apakah kau akan mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku pada pukul 00:01, membuat surprise yang meriah atau hal romantis lainnya. Ternyata tidak.
Kau mengucapkan selamat ulang tahun di kelas seperti teman-teman yang lain, tidak spesial. Aku menunggu sampai kelas berakhir tidak juga ada tanda-tanda kejutan buatku. Baiklah, aku meyakinkan diriku bahwa kita benar-benar hanya teman biasa.
Tapi sepulang sekolah, kau menungguku di perempatan jalan yang biasa aku lalui saat pulang. Sambil malu-malu kau mendatangiku. “Selamat ulang tahun, Kay,” ucapmu sambil menyerahkan kado berwarna biru. Aku tersenyum, rasanya senang bukan main meskipun tidak ada ucapan di jam 00:01 ataupun kejutan. Aku benar-benar menyukai hal-hal yang biasa saja itu.
Aku membukanya, novel berjudul “Perahu Kertas” itu kau berikan padaku. Tidak ada surat cinta di dalamnya. Hanya ada tulisan “To: Kayla. Mau terus membuat cerita dan ilustrasinya bersamaku?” Aku hampir menangis.
Saat kita harus dewasa sendiri-sendiri.
Setelah memutuskan untuk bersama, aku tau banyak hal tentangmu begitupun kau tahu banyak hal tentangku. Aku mulai tahu kebiasaan burukmu yang seringkali membuatku kesal. Tapi dari hal-hal itu, aku belajar dewasa dengan memahami watakmu yang kurang baik, kata-kata yang kadang kasar, teman-temanmu yang beberapa nakal. Aku berpikir aku bisa merubahmu menjadi lebih baik. Kupikir kau juga menjadi lebih dewasa dariku yang terus mengomelimu untuk menjadi lebih baik.
3 tahun bersamamu membuatku lebih dewasa di usia 20. Tapi di saat dewasa ini pula kita mulai jenuh dengan cerita dan ilustrasi yang kita buat bersama di kertas kosong itu. Sudah basi, terlalu kekanakan. Aku lelah mengingatkanmu, kau pun sepertinya lelah dengan tuntutan-tuntutanku. Kita telah jenuh, dan akhirnya memilih untuk mencari jalan lain. Kupikir, ini salah satu pendewasaan bagi kita. Kita harus mendewasakan diri kita sendiri-sendiri.
Tapi…tidak pernah ada orang lain.
Ternyata kisah kita tidak seperti Perahu Kertas. Aku tidak pernah bertemu orang lain seperti Remy, entah apakah kau telah bertemu dengan seorang wanita selembut Luhde. Aku hanya menikmati dunia saat aku sendiri, bersama keluarga dan para sahabat, serta saat aku mengingat betapa lugunya aku dan kau pada waktu itu. Sampai suatu sore ada e-mail masuk darimu. E-mail singkat yang berisi pesan “Hai, Kay. Apa kabar? Aku sekarang di Jakarta, wanna have some walk and talk?”
Akhirnya aku bertemu lagi denganmu. Kita saling melempar senyum, lalu menceritakan banyak hal. Mata kita saling bertatap, seperti mencari tahu isi hati masing-masing. Malam itu, kau menggenggam tanganku lagi. Lebih erat.
Aku tidak pernah mengerti perkara move on. Bersamamu atau tidak, aku hanya tahu tentangmu. Teman-temanku berulangkali menyuruhku untuk mencari yang lain, yang lebih baik, yang lebih pantas. Aku tak mau. Sebelum semuanya terlambat, aku katakan sekarang padamu.
“Kita sudah membuat cerita di masa lalu, mengapa tak kita selesaikan sampai di masa depan?”
Kau tersenyum.
Tulisan ini adalah kiriman dari IDN Community. Kalau kamu ingin mengirimkan artikelmu, kirimkan ke community@idntimes.com