Hubungan asmara dan perselingkuhan menjadi dua hal yang kerap gak terpisahkan. Namun meski dalam setiap hubungan asmara ada potensi untuk salah satu bertindak gak setia, jangan sampai kita seperti menganggap perselingkuhan adalah hal biasa.
Bisa dimaklumi, lalu dibiarkan bahkan seolah-olah kita membela pelaku perselingkuhan. Apalagi sampai terang-terangan menyudutkan korban. Enam hal berikut ini sangat penting untuk kita renungkan.
Dicurangi orang yang jelas-jelas menjadi lawan kita dalam suatu pertandingan saja, rasanya sudah gak terima bukan? Apalagi dikhianati oleh pasangan sendiri?
Orang yang bersamanya kita membangun komitmen sehidup semati; terus bersama dalam keadaan senang maupun susah, kaya maupun miskin, sehat maupun sakit. Bahkan, kata 'luluh lantak' pun gak bisa menggambarkan luka yang diderita pasangan resminya.
Memang gak semuanya. Namun gak sedikit orang yang sampai dewasa gak berani menikah atau sekadar menjalin hubungan asmara karena punya trauma besar terkait perselingkuhan orangtuanya.
Bukan perpisahan orangtuanya yang benar-benar melukai. Namun perselingkuhan yang terjadi. Gak ada kasus perselingkuhan terungkap tanpa diserta banjir air mata dan ledakan emosi.
Dan itu hampir selalu terjadi dalam banyak tahun. Anak berada dalam kondisi yang gak aman secara psikis. Sampai dewasa, mereka bisa meragukan adanya cinta sejati dan orang yang benar-benar setia.
Kalau bukan pengecut, dia akan langsung mengatakan cintanya pada pasangan resminya telah padam. Kalau bukan pengecut, dia akan mengajukan perpisahan daripada bermain api di balik punggung pasangannya.
Orang yang berselingkuh bahkan bukan hanya berusaha menipu pasangan resminya. Namun hampir selalu juga menipu keluarga besar mereka, tetangga dan teman mereka, bahkan selingkuhannya yang gak tahu kalau dia sudah punya pasangan.
Tanyailah pelaku perselingkuhan. Pasti gak sedikit pembenaran yang diajukan atas perbuatannya. Seperti pasangan kurang perhatian, bentuk tubuhnya sudah gak menarik lagi, tergoda pesona orang yang lebih muda, dan sebagainya.
Pertanyaannya, apakah dirinya lebih baik dari pasangan resminya? Apakah tubuhnya gak berubah, gak menua, dan perhatiannya pada pasangan masih sama seperti saat awal membangun komitmen?
Kalau seseorang sadar dirinya sedang berurusan dengan manusia yang memiliki perasaan, bukan benda mati, dia gak akan seegois ini. Dia akan mampu membayangkan rasanya menjadi pasangannya jika diselingkuhi.
Dia harus berani memilih. Dia gak boleh berusaha memiliki keduanya, seperti anak dengan mainan di setiap tangan. Dia gak boleh memanjakan perasaannya sendiri dan abai pada perasaan yang lain.
Tentu saja semoga tidak. Namun bayangkan apabila kita menjadi pasangan yang diselingkuhi atau anak dari orangtua yang berselingkuh. Mampukah kita menanggung rasa sakitnya?
Bukan cuma sakit melainkan juga malu sekali. Setiap orang yang mengetahui prahara ini akan membicarakannya dan sebagiannya mungkin justru membela pelaku perselingkuhan lalu menyalahkan kita.
Maka jika kita gak sanggup meski sekadar membayangkannya, yuk tunjukkan sikap yang lebih tegas untuk gak membenarkan perilaku berselingkuh. Berikan seluruh hati kita pada korban, bukan pada pelaku.
Dengan begitu, semoga kita dapat membantu menguatkan korban-korban perselingkuhan. Bukan justru mendorong terjadinya lebih banyak lagi perselingkuhan.