ilustrasi pasangan bersama )unsplash.com/Brooke Cagle)
Ulama dari berbagai mazhab menetapkan beberapa kriteria yang berkaitan dengan kafa’ah, meski sebagian masih terdapat selisih di antara mereka. Terdapat empat pandangan oleh ulama terkait dengan status kafa’ah dalam pernikahan.
Pertama, menurut Imam An-Nawawi, Imam Ar-Rafi’i, dan Ibnu Hajar, parameter kafa’ah calon pasutri adalah nasab (keturunan), kredibilitas, status merdeka, ketokohan ilmu dan saleh, serta sikap wawasan keislaman. Menurut tiga tokoh ini, jika calon suami atau nenek moyangnya lebih unggul dari calon istri, maka sudah dianggap setara. Namun, jika dari segi calon istri lebih mulia dari laki-laki, maka tidak bisa dikategorikan sederajat
Kedua, pendapat ulama juga meletakkan kafa'ah dari parameter nasab, kredibilitas, status merdeka, ketokohan dalam ilmu dan saleh, kepemimpinan, serta pekerjaan. Menurut Ibnu Qadli, pendapat ini diunggulkan oleh Imam An-Nawawi dan Imam Ar-Rafi’i, tetapi tidak dijadikan sebagai pegangan. Selain itu, berbeda dengan pandangan pertama, bila salah satu calon kalah unggul dalam satu aspek atau lebih, pasangan ini masih bisa dianggap sekufu.
Ketiga, menurut al- Adzra’i dan Ibnu Rif’ah, parameter kafa’ah menyangkut kredibilitas, pekerjaan, ilmu, saleh, status merdeka, juga kepemimpinan. Dalam pendapat ketiga ini, faktor kemuliaan nasab ditangguhkan sebagaimana tradisi zaman dahulu.
Keempat, parameter yang sama pada nasab, kredibilitas, juga keilmuan, dan ketokohan sebagaimana pendapat pertama atau kedua. Menurut pendapat ini, kriteria kafa’ah dapat saling melengkapi bagi calon pasutri.
Artinya, jika ada kriteria pada calon suami atau calon istri ini yang tidak terpenuhi dan kurang unggul dibanding pasangannya, asalkan keduanya saling menggungguli dan melengkapi dalam kriteria-kriteria yang ada, maka keduanya dianggap sederajat.