Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
alasan orang selingkuh meski punya pasangan baik dan nyaris sempurna
ilustrasi selingkuh (pexels.com/ROMAN ODINTSOV)

Intinya sih...

  • Merasa layak diperlakukan lebih dari pasangan

  • Menganggap rasa bosan sebagai akhir hubungan

  • Banyak orang yang berselingkuh berdalih bahwa mereka hanya “tidak dipahami” atau “tidak didengar” oleh pasangan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Selingkuh sering kali dianggap sebagai hasil dari situasi yang rumit, padahal akar masalahnya kerap berawal dari cara seseorang memandang hubungan dan dirinya sendiri. Banyak orang tidak sadar bahwa keinginan untuk mencari “pengganti” bukan muncul tiba-tiba, melainkan berkembang dari pola pikir yang dibiarkan tanpa disadari. Batas antara kedekatan emosional dan hubungan personal semakin kabur, membuat siapa pun bisa tergelincir jika tidak memahami batasnya.

Fenomena selingkuh kini bukan hanya tentang fisik, tetapi juga soal validasi, pembenaran diri, dan rasa tidak cukup yang sulit dijelaskan. Ketika seseorang mulai menilai hubungan berdasarkan perbandingan, pembuktian, atau bahkan pelarian emosional, celah untuk berkhianat bisa terbuka lebar. Berikut lima pola pikir yang sering jadi pemicu selingkuh.

1. Merasa layak diperlakukan lebih dari pasangan

ilustrasi selingkuh (pexels.com/ cottonbro studio)

Salah satu pola pikir yang paling berbahaya adalah keyakinan bahwa seseorang pantas mendapatkan perlakuan yang lebih baik daripada pasangannya saat ini. Pikiran ini muncul ketika seseorang mulai menilai hubungan berdasarkan “apa yang aku dapat” bukan “apa yang aku bangun bersama”. Ketika kepuasan pribadi dijadikan ukuran utama, pasangan pun berubah menjadi cermin kebutuhan, bukan rekan perjalanan. Akibatnya, setiap ketidaksempurnaan pasangan dianggap alasan untuk mencari pelarian di luar hubungan.

Rasa layak yang tidak diimbangi dengan empati bisa mengubah hubungan menjadi kompetisi. Orang dengan pola pikir ini sering melihat dirinya sebagai “korban” dari pasangan yang dianggap tidak peka, padahal komunikasi bisa jadi belum benar-benar terjalin. Saat pembenaran diri semakin kuat, perhatian dari orang lain terasa seperti pembuktian bahwa dirinya memang pantas dicintai lebih. Dari sinilah benih perselingkuhan tumbuh bukan karena cinta baru, tapi karena keinginan untuk kembali merasa berharga.

2. Menganggap rasa bosan sebagai akhir hubungan

ilustrasi bosan (pexels.com/Alex Green)

Rasa bosan sering disalahartikan sebagai tanda hubungan sudah tidak bisa dipertahankan, padahal setiap hubungan pasti memiliki fase tenang. Ketika seseorang percaya bahwa cinta sejati seharusnya selalu penuh gairah, ia akan mudah menganggap rutinitas sebagai ancaman. Dalam situasi ini, muncul godaan untuk mencari sensasi baru, bukan memperdalam koneksi yang sudah ada. Selingkuh pun kadang terlihat seperti penyegaran, padahal sebenarnya pelarian dari kedewasaan emosional.

Pola pikir ini berbahaya karena menjadikan kebosanan sebagai musuh, bukan sinyal untuk beradaptasi. Hubungan jangka panjang justru menuntut kemampuan menemukan hal menarik dalam keseharian yang sama. Saat seseorang gagal menerima bahwa cinta tak selalu intens, ia akan mudah tergoda oleh perhatian singkat yang tampak lebih menggairahkan. Padahal yang dibutuhkan bukan orang baru, melainkan cara pandang baru terhadap cinta yang sudah ada.

3. Membenarkan perselingkuhan sebagai bentuk “kebutuhan emosional”

ilustrasi perselingkuhan di kantor (pexels.com/Gustavo Fring)

Banyak orang yang berselingkuh berdalih bahwa mereka hanya “tidak dipahami” atau “tidak didengar” oleh pasangan. Pola pikir ini terdengar masuk akal di permukaan, tetapi sesungguhnya mengandung pembenaran diri yang berbahaya. Dengan logika itu, seseorang menempatkan dirinya sebagai pihak yang berhak mencari pengganti, bukan sebagai pihak yang perlu berkomunikasi. Ia lupa bahwa hubungan bukan tentang siapa yang lebih menderita, tetapi siapa yang mau memperjuangkan.

Ketika kebutuhan emosional dijadikan alasan untuk berkhianat, hubungan kehilangan ruang untuk diperbaiki. Orang yang merasa tidak dimengerti sering kali belum benar-benar mencoba membuka diri dengan jujur. Mereka lebih memilih jalan pintas dengan mencari pelipur di luar, seolah perhatian baru bisa menyembuhkan luka lama. Padahal, tanpa introspeksi, luka itu hanya akan berpindah bentuk dari rasa sepi menjadi rasa bersalah.

4. Melihat hubungan sebagai ajang pembuktian diri

ilustrasi ego dalam hubungan (pexels.com/Alena Darmel)

Ada orang yang masuk ke hubungan dengan dorongan untuk membuktikan sesuatu entah bahwa ia menarik, dicintai, atau lebih berhasil dari mantannya. Ketika hubungan dijadikan alat validasi diri, orientasi cinta berubah dari memberi menjadi mengumpulkan pengakuan. Pola pikir ini bisa membuat seseorang mudah berpaling begitu perhatian pasangan terasa berkurang. Ia butuh terus dikagumi, dan ketika sorotan itu hilang, ia mencarinya di tempat lain.

Ketergantungan pada validasi membuat seseorang sulit menikmati hubungan yang stabil. Mereka mengira cinta berarti dikagumi tanpa henti, padahal hubungan sejati butuh ruang untuk bertumbuh, bukan sekadar disorot. Dalam jangka panjang, hubungan yang dibangun di atas kebutuhan pembuktian diri hanya menumbuhkan kelelahan emosional. Selingkuh kemudian menjadi bentuk pencarian pengakuan baru yang sifatnya sementara dan rapuh.

5. Menganggap kesetiaan sebagai beban, bukan pilihan

ilustrasi pasangan (pexels.com/RDNE Stock project)

Kesetiaan sering disalahpahami sebagai kewajiban yang membatasi kebebasan pribadi. Orang dengan pola pikir seperti ini melihat komitmen sebagai rantai, bukan bentuk tanggung jawab emosional. Ia merasa berhak untuk tetap “bebas” meski berada dalam hubungan, seolah kesetiaan bisa dinegosiasikan sesuai situasi. Pola pikir ini tumbuh dari anggapan bahwa cinta tidak seharusnya membatasi keinginan pribadi.

Masalahnya, cinta tanpa komitmen hanya akan menciptakan hubungan yang rapuh. Kesetiaan bukan tentang kehilangan kebebasan, melainkan tentang memilih untuk menghargai seseorang meski ada banyak godaan di luar sana. Saat seseorang melihat kesetiaan sebagai beban, selingkuh menjadi terlihat seperti “jalan keluar” dari tekanan moral, padahal sebenarnya itu bentuk ketidakdewasaan dalam mengelola pilihan. Cinta yang sehat selalu memberi ruang untuk menjadi diri sendiri tanpa harus melukai orang lain.

Pola pikir yang sering jadi pemicu selingkuh itu lebih berbahaya daripada godaan itu sendiri, karena ia tumbuh diam-diam di dalam kepala. Selingkuh bukan hanya soal tindakan, tetapi juga cara seseorang menafsirkan kebahagiaan dan tanggung jawab emosional. Jika seseorang mulai menyadari betapa pentingnya pola pikir sehat dalam hubungan, mungkin keinginan untuk berkhianat bisa digantikan dengan dorongan untuk memperbaiki.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team