ilustrasi anak menangis (pexels.com/Yan Krukau)
Salah satu alasan utama lainnya adalah gaya keterikatan yang dikenal sebagai ‘avoidant attachment’. Gaya ini sering muncul akibat pola asuh yang kurang konsisten atau jarak emosional dengan pengasuh saat kecil. Akibatnya, kamu mungkin merasa gak nyaman dengan kedekatan emosional dan cenderung menghindari hubungan yang terlalu mendalam.
Menurut teori keterikatan, individu dengan gaya avoidant sering melihat pernikahan sebagai ancaman terhadap kemandirian. Pernikahan mungkin terasa seperti kehilangan kontrol atau terjebak dalam hubungan yang terlalu menuntut.
Namun, kabar baiknya adalah gaya keterikatan ini gak permanen. Dengan kesadaran diri dan usaha, kamu bisa mengembangkan keterikatan yang lebih aman. Dukungan dari pasangan yang sabar dan konsisten juga bisa membantu mengubah pandanganmu terhadap hubungan jangka panjang.
Ketakutan terhadap pernikahan bukanlah sesuatu yang harus membuatmu merasa gagal atau berbeda. Setiap orang memiliki pengalaman dan alasan unik di balik perasaan ini. Memahami asal-usul ketakutanmu adalah langkah pertama untuk mengatasinya.
Dengan terapi, komunikasi yang terbuka, dan usaha untuk mengenali pola pikir yang menghambat, kamu bisa mulai membangun hubungan yang lebih sehat. Ingat, menikah adalah pilihan pribadi, bukan kewajiban yang harus dipenuhi. Jadikan perjalanan ini sebagai momen untuk mengenal dirimu lebih baik dan menciptakan hubungan yang sesuai dengan harapanmu.
Ketakutan terhadap pernikahan gak selalu buruk, kok. Justru, ini bisa menjadi dorongan untuk mempersiapkan diri lebih matang, memutus pola generasi, dan menciptakan hubungan yang lebih bermakna. Dengan mindset yang tepat, kamu bisa melangkah ke jenjang pernikahan tanpa rasa takut, melainkan dengan harapan dan keyakinan.