Beberapa waktu setelah peristiwa kelam itu, tubuhku aneh. Perutku serasa tebal. Tamu yang ku nanti datang tiap bulan, kini tak juga menampakkan batang hidungnya. Hatiku berdesir. Ada kengerian sekaligus kegamangan.
Aku hamil.
Kini hidupku makin terasa culas karena janin yang tak ku tahu benihnya milik siapa ini telanjur berkembang menjadi besar. Di perutku ada nyawa. Orang-orang di sekitarku tambah berkicau. Makin nyaring bunyinya, membuat daun telingaku makin panas.
Siapa yang mau berbadan dua tanpa pasangan? Hamil buatku bukan pilihan, tapi kecelakaan, paksaan, atau lebih tepatnya peristiwa yang tak mampu ku elakkan. Siapa yang mau hidup membesarkan bocah, yang bahkan tak ku ketahui bibitnya milik siapa. Setan memberi aba-aba untuk aborsi. Kekalutan ini menggerayangi pikiranku bertubi-tubi.