Facebook/Endri Kurniawati
Setelah riset dan bertanya sana-sini, Endri memutuskan menjalani pengobatan di RS Onkologi Surabaya. "Syukur Alhamdulillah, saya mendapat dukungan luar biasa dari semua teman dan atasan. Karena harus pindah ke Surabaya untuk menjalani pengobatan intensif, saya mendapat izin cuti sampai sembuh," kata wartawan Tempo tersebut.
Rangkaian pengobatan medis dia jalani dengan ekstra sabar. Ketangguhannya melawan "monster" dalam tubuhnya tak main-main.
"Saya selalu merasa diberkahi karena punya banyak teman yang baik-baik. Selama sakit, dukungan terus mengalir seperti air, banyak yang datang, menelpon, mengirim SMS, mengirim makanan sehat, buah, dan apa pun yang saya butuhkan," ujarnya. "Saya pun heran, kok bisa begitu ya. Padahal saya orangnya galak hahaha."
Sempat galau untuk menolak operasi, akhirnya Endri mengiyakan saran dokter. Payudara kanannya terpaksa diangkat, sedangkan yang kiri dioperasi pengambilan tumor. Ya, tumor. Ternyata bukan hanya kanker saja yang hinggap di tubuhnya, tetapi juga tumor. "Saya harus kehilangan "identitas" saya sebagai perempuan. Mahkota saya harus diambil," kata Endri.
Ia sempat "posesif" dengan tubuhnya sendiri ketika banyak yang menyarankan untuk operasi dan pengangkatan payudara. "Ibu saya bilang, buat apa mempertahankan payudara kalau harus kehilangan nyawa." Benar juga kata ibu, pikirnya.
Setelah operasi berhasil, ia harus menjalani kemoterapi enam kali. Tak berhenti sampai di situ. Dia juga harus minum obat selama 5 tahun, ditambah 10 tahun ke depan. "Sampai sekarang pun saya masih minum obat, gak boleh telat."
Facebook/Endri Kurniawati
Merasa "bertanggung jawab" untuk membagikan kisahnya kepada pengidap kanker yang lain, Endri akhirnya menulis buku. Judulnya "Kehidupan Kedua Penyintas Kanker" yang dia rilis pada tahun lalu. Tujuannya mulia.
Dia ingin masyarakat, terutama pengidap kanker, menjalani pengobatan medis secara akurat dan terukur. Karena dengan begitu, potensi sembuh lebih besar. Sebab, fenomena pengobatan non-medis kian berkembang. Ada pula ramuan-ramuan tertentu, yang belum tentu cocok untuk tubuh sang penderita.
"Saya juga ingin berbagi kisah bagaimana psikis pengidap kanker. Karena sembuh tidaknya seseorang, itu tergantung kondisi psikisnya," tutur perempuan yang hobi bernyanyi itu.
Kini, tubuhnya lebih terlihat bugar, meski tak bisa kembali sesehat sebelumnya. Yang awalnya disiplin dan ketat soal makanan, Endri lebih memperketatnya lagi. Dia juga masih rutin berolahraga dengan jalan kaki maksimal 40 menit. "Hanya dengan disiplin, saya bisa mengusahakan hidup sehat dan berharap panjang umur."
Ketangguhan dan kesabarannya menjalani kehidupan membuatnya dikenal sebagai sosok perempuan yang menginspirasi. Meski bukan pahlawan yang berperang untuk Indonesia, Endri layak dijadikan sosok "Kartini" masa kini. Ia tak pernah menyerah berperang melawan "monster jahat" di tubuhnya, sekaligus sukses berbagi inspirasi melalui bukunya kepada publik.
Secara pribadi, dia memiliki pendapat unik tentang bagaimana perempuan semestinya.