Peluncuran Riset dan Diskusi Rollercoaster Kepemimpinan Jurnalis Perempuan di Indonesia, ‘Mendobrak Stigma Mendorong Kuasa’. Senin (25/10/2021). IDN Times/Adyaning Raras
Hasil riset menemukan bahwa terdapat tiga hambatan utama kepemimpinan perempuan di level organisasi, individu, dan sosial budaya. Ika memaparkan bahwa hambatan di setiap level pasti berbeda dan bermacam-macam.
"Di level individu berkaitan dengan rencana karier. Banyak perempuan mau jadi jurnalis tapi gak punya plan. Kedua, soft skill, berkaitan dengan kemampuan berjejaring, melobi, negosiasi, kemampuan menulis. Ketiga, background individu terkait latar belakang pendidikan, usia, apakah sudah menikah atau belum. Lalu ada juga hambatan di level organisasi. Ini kita bagi dua di level struktur dan proses internal organisasi. Terakhir ada sosial budaya, ternyata hambatan tertinggi memang pada level organisasi baru diikuti level individu," jelasnya.
Secara garis besar, ada enam hambatan yang dialami para jurnalis perempuan di media. Hambatan pada sosial budaya, struktur organisasi, proses internal organisasi, soft skill, background individu, dan rencana karier.
"Saya menemukan ternyata struktur organisasi dan kondisi internal organisasi merupakan penghalang yang signifikan dalam peran kepemimpinan perempuan. Ruang redaksi itu dipengaruhi oleh kondisi internal yang kemudian akan memengaruhi juga organisasi itu sendiri. Ketika kita berbicara tentang perempuan dan perannya dalam organisasi, kita harus tahu apa saja tekanan yang ada. Misalnya perubahan dalam teknologi bisa mengubah ruang redaksi," pungkas Professor Drew McDaniel menanggapi hasil riset Ika dan tim.
Hambatan di level organisasi terjadi karena kurangnya mentoring sehingga tidak ada dukungan manajemen terhadap pengembangan karier. Ika juga menambahkan, "Tidak ada kesempatan untuk mempromosikan diri dan mengembangkan karier karena ada aktivitas di dalam organisasi tersebut yang membuat perempuan terisolasi."
Selain itu, ada queen bee syndrome, yaitu fenomena pemimpin perempuan itu lebih tega dan fierce daripada pemimpin laki-laki. Salah satu faktor yang ditemukan menyatakan bahwa ada pemimpin perempuan yang tidak memahami masalah pekerja perempuan.
Nyatanya, hambatan ini juga menjadi tantangan besar untuk para jurnalis perempuan dalam beradaptasi dengan situasi kerja. Pemimpin Redaksi Radar Selatan, Sunarti Sain, mengatakan bahwa budaya patriarki itu masih mengakar begitu kuat. Terlihat dari kondisi perempuan yang dihadapkan dengan beban ganda, yang harus bertanggung jawab di lingkungan rumah dan pekerjaan.
"Sebagai jurnalis perempuan itu naik turun akan selalu ada dalam perjalanan karier. Sebagai ibu harus tetap bisa ngasih ASI ke anak, akhirnya ada kesadaran bahwa kita harus minta kantor untuk pengadaan ruang laktasi. Beban ganda ini kalau tidak didukung oleh kebijakan itu juga menjadi persoalan pada jurnalis perempuan," tuturnya.