Hukum Masturbasi dalam Islam, Simak Penjelasannya!

Dikutip NU Online, dalam kajian fiqih dikenal istilah istimna‘ yang merujuk pada tindakan mengeluarkan sperma tanpa melalui hubungan seksual. Baik dilakukan oleh tangan atau metode lainnya, baik oleh laki-laki maupun perempuan, dengan tujuan memenuhi dorongan seksual.
Namun, dalam penggunaan sehari-hari, istilah "onani" biasanya merujuk pada laki-laki. Sementara istilah "masturbasi" lebih sering digunakan untuk perempuan, meskipun keduanya cenderung dilakukan secara individu.
Meskipun tidak ada penjelasan yang langsung dalam Al-Qur'an tentang masturbasi, beberapa hadis dan fatwa dari para ulama memberikan pandangan yang beragam tentang masalah ini. Bagaimana hukum masturbasi dalam Islam? Simak penjelasannya di bawah!
1. Hukum masturbasi dalam Islam berdasarkan mazhab Maliki dan Syafi'i
Terdapat perbedaan pendapat antara para ulama terkait hukum masturbasi dalam Islam. Ada yang menyebut haram serta makruh. Adapun para ulama yang mengharamkan adalah ulama Maliki dan Syafi‘i.
Ulama Syafi‘i berpegang pada dasar hukum atas pengharaman masturbasi yang terdapat dalam Al-Qur'an Surat Al Mu'minun ayat 5-7 yang terjemahannya berbunyi:
"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas."
Maka dari itu, Islam mengajarkan bagi seorang muslim yang sudah mampu dalam segi materi, emosional, dan fisik untuk segera menikah untuk menghindari hal demikian terjadi. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
"Wahai generasi muda, siapa saja di antara kamu yang sudah mampu menjalani hidup berumah tangga maka nikahlah! Sungguh yang demikian itu dapat menundukkan pandangan mata dan dapat menjaga kemaluan (farji) dan orang yang belum mampu hendaknya berpuasa karena dengan berpuasa menjadi benteng (terlindung) dari kemaksiatan." (HR Muttafaqun alaih)
Dengan demikian, menurut ulama Syafi‘i, istimna (onani atau masturbasi) merupakan kebiasaan buruk yang diharamkan oleh Al-Qur’an dan sunah. Hanya saja, dosa onani atau masturbasi lebih ringan dosanya dari berzina karena bahayanya tak sebesar yang ditimbulkan perzinaan, seperti kacaunya garis keturunan dan sebagainya.
Sementara, ulama Maliki berargumentasi tentang haramnya istimna‘ dengan sabda Rasulullah SAW, “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah mampu ba’at (menikah), maka menikahlah! Sebab, menikah itu lebih mampu menjaga pandangan dan memelihara kemaluan. Namun, siapa saja yang tidak mampu, maka sebaiknya ia berpuasa. Sebab, berpuasa adalah penekan nafsu syahwat baginya.” (HR Muslim).
Mereka menyatakan bahwa jika tindakan istimna' atau onani diizinkan dalam ajaran agama, tentu Rasulullah SAW akan memberikan petunjuk tentangnya karena onani lebih mudah dilakukan daripada berpuasa. Namun, diamnya beliau mengenai masalah ini dianggap sebagai bukti bahwa onani diharamkan dalam agama Islam.
2. Hukum masturbasi dalam Islam berdasarkan mazhab Hanafi dan Hanbali
Adapun yang mengharamkan dalam kondisi tertentu dan membolehkan dalam kondisi yang lain adalah para ulama Hanafi dan Hanbali. Mereka berpendapat bahwa masturbasi hanya dianggap haram dalam beberapa situasi dan diwajibkan dalam situasi lainnya.
Masturbasi dianggap sebagai kewajiban ketika seseorang khawatir akan melakukan perzinahan jika tidak melakukannya. Hal ini berdasarkan pada prinsip menghindari kerugian yang lebih besar. Namun, ulama mazhab Hanafi mengharamkan apabila hanya sebatas untuk bersenang-senang dan membangkitkan syahwat.
Berbeda dengan pandangan ulama dari mazhab Hambali yang menyatakan bahwa masturbasi diharamkan, kecuali dalam situasi di mana seseorang khawatir akan terjerumus dalam perbuatan zina atau berada pada kondisi kesehatan terancam dan ketika seseorang tidak memiliki pasangan atau budak serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah.
Dalam Al-Qur'an pun perbuatan masturbasi tidak disuratkan dengan jelas. Karenanya, masturbasi boleh dilakukan jika berdasarkan pada alasan dan hujjah tertentu. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-An'am ayat 119:
"Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."
3. Pendapat lain tentang masturbasi
Dikutip NU Online, sebagian ulama dari Bashrah berpendapat bahwa orang yang sudah menikah diperbolehkan melakukan istimna’ saat sedang dalam perjalanan, bukan di tempat tinggal mereka. Hal ini karena dalam situasi tersebut, diyakini bahwa mereka lebih mampu menjaga pandangan dan menghindari perbuatan zina.
Pendapat terakhir adalah yang memakruhkan, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Hazam, sebagian ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi‘i, dan sebagian ulama mazhab Hanbali. Mereka memandang bahwa istimna' menjadi perbuatan yang termasuk dalam perkara yang status keharamannya tidak dijelaskan secara eksplisit oleh Allah.
Islam sangat hati-hati dalam membuat putusan tentang haram atau tidaknya sebuah perbuatan. Dari berbagai sumber dan penjelasan di atas, sebagian besar ulama menganggap istimna', baik dilakukan oleh laki-laki (onani) atau perempuan (masturbasi), sebagai perilaku yang tidak terpuji, melampaui batas, dan bertentangan dengan fitrah manusia.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa ulama Maliki dan Syafi‘i mengharamkannya, terutama jika tindakan tersebut dapat menghalangi seseorang dari menikah dan memiliki keturunan. Meskipun demikian, ada pandangan yang memperbolehkannya dalam keadaan darurat atau ketika mengambil risiko yang lebih ringan di antara dua risiko yang ada.
Untuk menghindari jatuh ke dalam perbuatan perzinaan, disarankan bagi siapa pun yang telah memiliki kemampuan, terutama para pemuda dan pemudi, untuk segera menikah. Namun, jika belum siap untuk menikah, seseorang dapat mengikuti petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.