Stigma yang selama ini mengakar dalam tatatan masyarakat Indonesia adalah wanita sewajarnya menikah di rentang usia 20-an awal. Bahkan sudah mulai diresahkan apabila masih belum dipinang ketika menginjak usia seperempat abad. Padahal perkara menikah tak sesederhana tentang angka belaka. Karena menikah bukanlah sebuah lomba lari; siapa cepat, dia menang. Menikah itu tujuannya adalah baik, serta niat yang tentunya baik pula, dan sebaiknya pun dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya.
Menikah bercerita tentang kesiapan dari berbagai hal, seperti batin, fisik, maupun materil. Dan, sejatinya menikah itu tidak pula dilandaskan pada ikutan trend yang menjamur. Tak masalah jika memang benar sudah matang atau setidaknya cukup matang dalam aspek-aspek terkait, namun bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? Padahal menikah merupakan keputusan besar yang hendaknya memiliki pertimbangan yang tidaklah sepele.
Walaupun menikah dengan seseorang yang dicintai adalah satu kado terindah dalam hidup, namun tak berarti pula pondasi pernikahan hanya cukup dibangun atas nama cinta semata. Dan, bukan berarti pula cinta tak mampu tumbuh pasca-nikah, karena bicara soal cinta memang melahirkan begitu banyak peluang cerita. Intinya, menikah tak hanya problematika hati tapi juga logika karena manusia memang dibekali dengan keduanya.
Nah, beberapa hal berikut mungkin dapat memantik pemahaman penuh empati bagi kamu yang selama ini sibuk mengurusi perkara wanita usia 25-an, atau bahkan yang berusia lebih matang di mana dalam kacamatamu merupakan fenomena yang tak seharusnya terjadi atas mengapa jari mereka masih belum diikat oleh sebuah cincin kawin.