Dok. Istimewa (instagram.com/nimadewanti)
"Aku ditangani dan didampingi dengan psikolog serta psikiater. Mereka bertanya kebutuhanku apa. Waktu itu aku emotional unstable dan suicidal thought-nya tinggi banget," ujar Anti menceritakan pengalaman masa lalunya.
Saat mengalami perundungan secara online tersebut, ia juga mengalami berbagai peristiwa yang pelik. Mulai dari mengurus perpisahannya dengan mantan pasangannya, memulihkan diri sebagai korban KDRT, sampai kehilangan dua orang adiknya dalam waktu berdekatan. Ketika sedang berada di posisi tersebut, Anti mengaku merasa bingung untuk meminta pertolongan dari orang lain.
"Mungkin savior complex, ya. Rata-rata orang yang berkegiatan di dunia aktivisme memang punya empati besar. Tetapi, saat aku yang jadi korban, keinginan untuk minta bantuan itu sampai gak terucap di tenggorokan," pungkasnya.
Namun, pertolongan itu pun kemudian datang dari orang terdekatnya. Setelah mendapat pendampingan dan rujukan, Anti mulai bisa menata pikirannya sendiri untuk melalui beragam proses yang harus ia lewatkan.
Ia pun memberikan saran untuk orang-orang yang sedang memperjuangkan hal yang sama dengannya waktu itu,
"Kalau kita gak bisa mengurai masalah yg ada di depan kita dengan rinci dan bertahap, kita akan merasa semuanya kiamat. Yang aku lakukan adalah merinci kegiatan mana atau urgensi mana yang aku butuhkan duluan".
Saat itu, perempuan yang hobi menulis ini juga mendapat diagnosa bahwa dirinya bipolar dan memulai treatment serta mendapat resep obat penenang. Anti pun perlahan bangkit dalam proses pemulihan di tahun 2019. Ketegaran itu menurutnya hadir ketika ia mengakui kekurangan dirinya.
"Ketika ditanya bagaimana aku membangun daya resilience itu, ibaratnya bukan hanya jatuh mbak, aku sudah hancur lebur. Karena aku mengakui limitation atau keterbatasan aku, dan aku gak malu untuk mencari bantuan," ujarnya seraya tersenyum.
Sejak tahun 2019, Anti mulai disibukkan kembali dengan kegiatannya di DROUPADI. Saat di perjalanan menuju suatu kota, ia menyadari sesuatu.
Ia menuturkan, "Ketika ada kondisi darurat di pesawat, masker oksigen akan turun. Saat itu kita gak boleh pasangin orang lain, walaupun itu anak kita sendiri. Kita harus pasang itu kepada diri kita sendiri terlebih dahulu".
Dari situ ia berefleksi kembali, bahwa ketika ingin bermanfaat untuk orang lain, kita harus bisa kuat terlebih dahulu dan menolong diri kita sendiri.
"Supaya kamu melihat dunia ini jauh lebih jelas, bahkan bisa berkontribusi dan membantu orang lain," tambahnya.