Ada 241 siswa laki-laki dan 114 siswa perempuan yang mengikuti survei ini. Sekolah pascasarjana sendiri merupakan tempat alami untuk para siswa menuntut ilmu, menyiapkan karier sekaligus mencari pasangan hidup. Teman-teman mereka berpotensi menjadi suami atau istri di masa depan.
Para peneliti yaitu Leonardo Bursztyn, Thomas Fujiwara dan Amanda Pallais menggunakan metode khusus untuk mengetahui apa yang menghalangi perempuan mencapai posisi tinggi secara profesional. Ketiganya meneliti perilaku apa yang berdampak positif untuk karier, tapi berakibat negatif untuk peluang pernikahan.
Koresponden diinstruksikan untuk mengisi kuesioner tentang preferensi kerja, gaji serta jam kerja dalam seminggu. Mereka juga diminta menilai jiwa kepemimpinan dan ambisi profesional diri sendiri. Kuesioner itu sangat berpengaruh terhadap kesempatan magang musim panas.
Dengan kata lain, jika seseorang enggan bekerja lembur, maka kemungkinan takkan mendapat posisi di dunia perbankan. Ketika diinformasikan bahwa hanya konsultan karier yang akan membaca kuesioner, jawaban perempuan single dan yang sudah menikah tak banyak berbeda.
Namun, waktu diberitahu bahwa teman-teman mereka--baik laki-laki maupun perempuan--akan membaca hasil kuesioner, perempuan single menurunkan ekspektasi profesional mereka. Sementara laki-laki (Tak peduli status hubungan mereka apa) dan perempuan yang sudah menikah tidak mengubah jawaban mereka.
Ketiga peneliti menemukan bahwa perbedaan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran tentang pernikahan. "Bahkan pada abad 21, laki-laki memilih pasangan perempuan yang secara profesional kurang ambisius dibandingkan mereka," menurut para penulis buku Gender Differences in Mate Selection: Evidence from a Speed Dating Experiment.