Ketika pukul 19.30 WIB, tiba-tiba seluruh arena jatuh ke dalam kegelapan. Saat dunia seakan berhenti sejenak, Muse datang dengan cara sederhana, Matt Bellamy sambil memeluk gitarnya, Chris Wolstenholme menenteng bass dan Dominic Howard yang langsung duduk manis di belakang drum.
Di waktu bersamaan, hits andalan “Unravelling” mengalun, kepakan jantung massa berubah menjadi gelombang sorakan. Ini menggedor ritme seperti mesin perang di lagu pertama tersebut.
Lampu sorot menyapu para penonton, menciptakan bayangan tak beraturan di sekitar stage. Kilatan ponsel layaknya kunang-kunang raksasa berloncatan di udara, membentuk galaksi buatan manusia yang berdenyut bersama beat jantung massa.
Muse tak bicara apa-apa, hanya langsung menyambar dengan raungan elektronik interlude yang bersahutan terdengar di sound system.
Tak lama, distorsi bass intro yang khas menggaung menghantam udara, petanda “Hysteria” langsung dibawakan di lagu kedua. Lautan penonton berubah menjadi ombak: meloncat, menubruk, hingga berteriak.
“Jakarta!” kata Matt berteriak setelah menyanyikan hits “Hysteria,” wajahnya menyungging senyum tipis. Penonton menjawab dengan pekikan yang menggema.
Tanpa jeda, “Stockholm Syndrome” hadir sebagai peluru selanjutnya, dimainkan dengan outro “Township Rebellion” milik Rage Against the Machine. Lagu ini membawa energi liar yang membuat Pantai Carnaval terasa seperti medan protes raksasa.
Crowd tak hanya bernyanyi, tapi berteriak dengan wajah merah padam, seakan mengeluarkan semua amarah yang terpendam.
Lagu-lagu anyar atau yang lebih jarang dibawakan, seperti “Won’t Stand Down” dan “Kill or Be Killed,” mendapat sambutan antusias sekalipun belum familiar didengar semua penonton.
Penonton antusias bertepuk tangan, siraman cahaya, dan suara “oh-oh-oh” menggema saat bagian refrain tiba. Tidak ada satu lagu pun yang tidak dinyanyikan, walau lagu relatif baru tetap diperlakukan seolah klasik.
“Resistance” menjadi anthem penuh harapan, disambut tangan-tangan yang teracung ke udara, sementara “Psycho" membuat arena terasa seperti medan latihan militer—dengan ribuan orang serentak meneriakkan “Aye, sir!” ke arah panggung.
“Kill or Be Killed” salah satu nomor terbaru menghadirkan agresi segar, membuktikan bahwa Muse tak sekadar hidup dari nostalgia dan belum kehilangan relevansi.
Unit rock asal Inggris, Muse, kembali guncang Jakarta. Kali ini, mereka mentas dalam konser bertajuk “Muse: Live in Jakarta" yang digelar di Pantai Carnaval, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (19/9/2025). (IDN Times/Wahyu Kurniawan)
Tentu yang tak kalah kilmaks saat Muse memainkan “Plug in Baby.” Begitu riff pembuka yang nyaring itu dimainkan, stadion meledak seketika. Lagu ini seperti roket yang menghantam atmosfer—keras, cepat, penuh ledakan adrenalin.
Visual layar dipenuhi warna neon yang berkedip seperti arcade tahun 80-an, membuat panggung futuristik. Maklum, ada 20 an LED menggantung, naik-turun menyesuaikan konsep lagu, seakan menyatu dengan suara gitar Bellamy yang meluncur bagai laser.
“Edannnn, visual panggungnya, megah pisan,” kata Athief Aiman, salah satu penggemar berat Muse.
Tak banyak basa-basi, Muse tampil lebih intim dengan hits andalan “Unintended.” Dengan format akustik, gemuruh yang sebelumnya membuncah, berganti jadi hening. Hanya tersisa gitar akustik Matt Bellamy dan ribuan lampu ponsel yang berkelap-kelip seperti bintang.
Banyak yang terisak, beberapa berpelukan sambil bernanyi. Maklum, nomor ini baru pertama kali dimainkan di tanah air, karena pada konser perdananya Muse tak menyanyikan lagu mendayu-dayu dan populer bagi remaja di era Milenium awal.
Nomor andalan lain kemudian dimainkan, mulai dari “Time is Running Out,” “Supermassive Black Hole,” dan “Uprising.” Pesta kembang api yang menyala di langit Ancol, berpadu dengan dentuman keras lagu “Knights of Cydonia.”
Hits “Starlight,” diibaratkan sebagai sebuah happy ending dari pentas Muse yang tak terlupakan dalam konsernya kali ini. Diikuti gemerlap kembang api yang menghiasi langit Pantai Karnaval Ancol.