Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG_6101.HEIC
Unit rock asal Inggris, Muse, kembali guncang Jakarta. Kali ini, mereka mentas dalam konser bertajuk “Muse: Live in Jakarta" yang digelar di Pantai Carnaval, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (19/9/2025). (IDN Times/Ilyas Mujib)

Intinya sih...

  • Pantai Carnaval Ancol dipadati ribuan penggemar untuk menyaksikan konser bertajuk “Muse: Live in Jakarta”

  • Muse tampil memukau dengan hits andalan seperti "Hysteria" dan "Unintended," serta lagu-lagu anyar yang disambut antusias oleh penonton.

  • Konser Muse di Jakarta tidak hanya menawarkan pengalaman musik, tetapi juga visual dan lighting yang futuristik, menciptakan euforia multidimensi bagi penonton.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Petang itu, Ancol seakan bergetar dari dalam perutnya sendiri. Udara sore yang terasa berat, seolah ikut menahan napas bersama ribuan orang yang berbondong-bondong menuju Pantai Carnaval untuk menyaksikan konser bertajuk Muse: Live in Jakarta.” 

Walau matahari masih menggantung berat dan udara panas menempel, deretan manusia tak menggubrisnya. Mereka seperti arus sungai yang tak henti mengalir di sisi trotoar akses menuju Carnaval Ancol, membawa poster bertuliskan “We’ve waited 18 years,” kaus hitam dengan logo Muse, dan suara-suara harap yang hampir bisa diraba.

Terlihat wajah-wajah muda penuh antusias berbaur dengan kelompok orang yang sudah dewasa, membawa bendera lusuh bertuliskan unit rock asal Inggris tersebut. Tak sedikit di antaranya membawa anak atau pasangan —generasi yang tumbuh bersama falsetto Matt Bellamy.

Memasuki gerbang, suasana lebih mirip ritual tahunan ketimbang konser biasa. Penonton berdiri rapat, beberapa duduk di trotoar sambil berbagi air mineral, lainnya menghisap rokok untuk mengusir penat sambil menantikan jagoannya beraksi. 

Suara riuh kecil muncul dari grup-grup yang mulai menyanyikan potongan lirik “Hysteria” hingga “Plug in Baby,” seolah ingin memastikan tenggorokannya sudah siap memekik seperti ingin menggetarkan lebih dari sekadar gendang telinga.

Pantai Carnaval petang itu tidak sekadar pesisir, melainkan ruang tunggu raksasa untuk sebuah euforia yang akan meledak.

Saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, angin laut membawa aroma asin bercampur dengan keringat massa yang cukup rapat. Suasana berubah drastis, lampu-lampu temaram mulai berpendar dan ribuan orang mulai merangsek ke area stage. 

Penonton langsung dihentak dengan hits andalan "Hysteria"

Ketika pukul 19.30 WIB, tiba-tiba seluruh arena jatuh ke dalam kegelapan. Saat dunia seakan berhenti sejenak, Muse datang dengan cara sederhana, Matt Bellamy sambil memeluk gitarnya, Chris Wolstenholme menenteng bass dan Dominic Howard yang langsung duduk manis di belakang drum.

Di waktu bersamaan, hits andalan “Unravelling” mengalun, kepakan jantung massa berubah menjadi gelombang sorakan. Ini menggedor ritme seperti mesin perang di lagu pertama tersebut. 

Lampu sorot menyapu para penonton, menciptakan bayangan tak beraturan di sekitar stage. Kilatan ponsel layaknya kunang-kunang raksasa berloncatan di udara, membentuk galaksi buatan manusia yang berdenyut bersama beat jantung massa. 

Muse tak bicara apa-apa, hanya langsung menyambar dengan raungan elektronik interlude yang bersahutan terdengar di sound system.

Tak lama, distorsi bass intro yang khas menggaung menghantam udara, petanda “Hysteria” langsung dibawakan di lagu kedua. Lautan penonton berubah menjadi ombak: meloncat, menubruk, hingga berteriak.

“Jakarta!” kata Matt berteriak setelah menyanyikan hits “Hysteria,” wajahnya menyungging senyum tipis. Penonton menjawab dengan pekikan yang menggema.

Tanpa jeda, “Stockholm Syndrome” hadir sebagai peluru selanjutnya, dimainkan dengan outro “Township Rebellion” milik Rage Against the Machine. Lagu ini membawa energi liar yang membuat Pantai Carnaval terasa seperti medan protes raksasa.

Crowd tak hanya bernyanyi, tapi berteriak dengan wajah merah padam, seakan mengeluarkan semua amarah yang terpendam.

Lagu-lagu anyar atau yang lebih jarang dibawakan, seperti “Won’t Stand Down” dan “Kill or Be Killed,” mendapat sambutan antusias sekalipun belum familiar didengar semua penonton. 

Penonton antusias bertepuk tangan, siraman cahaya, dan suara “oh-oh-oh” menggema saat bagian refrain tiba. Tidak ada satu lagu pun yang tidak dinyanyikan, walau lagu relatif baru tetap diperlakukan seolah klasik.

“Resistance” menjadi anthem penuh harapan, disambut tangan-tangan yang teracung ke udara, sementara “Psycho" membuat arena terasa seperti medan latihan militer—dengan ribuan orang serentak meneriakkan “Aye, sir!” ke arah panggung. 

“Kill or Be Killed” salah satu nomor terbaru menghadirkan agresi segar, membuktikan bahwa Muse tak sekadar hidup dari nostalgia dan belum kehilangan relevansi.

Unit rock asal Inggris, Muse, kembali guncang Jakarta. Kali ini, mereka mentas dalam konser bertajuk “Muse: Live in Jakarta" yang digelar di Pantai Carnaval, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (19/9/2025). (IDN Times/Wahyu Kurniawan)

Tentu yang tak kalah kilmaks saat Muse memainkan “Plug in Baby.” Begitu riff pembuka yang nyaring itu dimainkan, stadion meledak seketika. Lagu ini seperti roket yang menghantam atmosfer—keras, cepat, penuh ledakan adrenalin. 

Visual layar dipenuhi warna neon yang berkedip seperti arcade tahun 80-an, membuat panggung futuristik. Maklum, ada 20 an LED menggantung, naik-turun menyesuaikan konsep lagu, seakan menyatu dengan suara gitar Bellamy yang meluncur bagai laser. 

“Edannnn, visual panggungnya, megah pisan,” kata Athief Aiman, salah satu penggemar berat Muse.

Tak banyak basa-basi, Muse tampil lebih intim dengan hits andalan “Unintended.” Dengan format akustik, gemuruh yang sebelumnya membuncah, berganti jadi hening. Hanya tersisa gitar akustik Matt Bellamy dan ribuan lampu ponsel yang berkelap-kelip seperti bintang. 

Banyak yang terisak, beberapa berpelukan sambil bernanyi. Maklum, nomor ini baru pertama kali dimainkan di tanah air, karena pada konser perdananya Muse tak menyanyikan lagu mendayu-dayu dan populer bagi remaja di era Milenium awal.

Nomor andalan lain kemudian dimainkan, mulai dari “Time is Running Out,” “Supermassive Black Hole,” dan “Uprising.” Pesta kembang api yang menyala di langit Ancol, berpadu dengan dentuman keras lagu “Knights of Cydonia.

Hits “Starlight,” diibaratkan sebagai sebuah happy ending dari pentas Muse yang tak terlupakan dalam konsernya kali ini. Diikuti gemerlap kembang api yang menghiasi langit Pantai Karnaval Ancol.

Pengalaman visual yang futuristik bak pertunjukan audio-visual seperti film sci-fi live

Di konser Muse, musik memang jadi inti, tapi yang membuatnya terasa seperti pengalaman multidimensi adalah bagaimana visual dan lighting diperlakukan sebagai instrumen tambahan yang tak kalah vital.

Hal itu sesuai dengan yang dijanjikan CEO Ravel Entertainment, Ravel Junardy, yang menyebut jika konser Muse bakal megah banget semuanya.

“Cuma memang banyak perintilan, saya pastikan konser Muse, stage-nya ngeri banget, dari tata stage, tata lampu LED, tata suara bener-bener bagus. Mereka pakai LED bergerak,” kata Ravel beberapa pekan sebelum konser Muse digelar.

Malam di Jakarta itu membuktikannya. Sejak intro lagu pertama menggelegar, dinding layar LED raksasa langsung hidup, menampilkan animasi distopia, seakan membawa penonton ke dunia lain.

Muse selalu dikenal sebagai band yang melebarkan batas panggung rock, dan Jakarta mendapat suguhan penuh. Lighting rig mereka tidak hanya menyorot panggung, tapi juga memahat ruang udara. Laser bersahutan meluncur menembus kegelapan, membelah kerumunan seperti sinar kosmik, sementara strobo putih ditembakkan sinkron dengan dentuman drum Howard—membuat setiap ketukan terasa seperti ledakan kecil di dada.

Ketika “Psycho” dimainkan, seluruh arena berubah jadi medan perang futuristik. Lampu merah menyapu penonton, menciptakan atmosfer agresif yang membuat ribuan orang bergerak seperti pasukan.

Puncak visual mungkin datang lewat “Supermassive Black Hole.” Lighting berubah jadi permainan warna hitam dan ungu pekat, diselingi kilatan neon merah muda. Efek itu membuat Pantai Karnaval seolah berada di dalam vortex energi, berputar tanpa arah. Musiknya saja sudah menggoda, tapi visualnya menambahkan sensasi hipnosis—tak ada yang bisa berdiri diam.

Lalu, tanpa peringatan, “Starlight” menjadi bukti klimaks orkestrasi ini. mengubah mood sepenuhnya: langit dipenuhi cahaya biru dan ungu yang lembut, ribuan ponsel dari penonton menambah efeknya, hingga tercipta ilusi galaksi buatan. 

Saat Bellamy menyanyikan refrain, Jakarta benar-benar terasa melayang di ruang hampa, hanya berpegangan pada harmoni dan cahaya.

Yang menarik, Muse tidak mengandalkan gimmick teatrikal berlebihan. Tidak banyak bicara, tidak ada obrolan berlapis-lapis. Semua berputar pada presisi timing: bagaimana laser ditembak tepat di riff gitar, bagaimana strobo diputus bersamaan dengan jeda bass, bagaimana warna cahaya berubah mengikuti emosi lagu. 

Detail kecil itu yang membedakan Muse dari sekadar band, mereka bisa meramu pertunjukan audio-visual seperti film sci-fi live yang menelan seluruh indera.

Visual LED terus memberikan ambience sepanjang konser berlangsung, hingga lampu mendadak padam, menyisakan kegelapan total dan sorak panjang yang tak mau berhenti.

Unit rock asal Inggris, Muse, kembali guncang Jakarta. Kali ini, mereka mentas dalam konser bertajuk “Muse: Live in Jakarta" yang digelar di Pantai Carnaval, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (19/9/2025). (IDN Times/Wahyu Kurniawan)

Pertunjukkan ciamik Muse sukses menembus malam Jakarta

Unit rock asal Inggris, Muse, kembali guncang Jakarta. Kali ini, mereka mentas dalam konser bertajuk “Muse: Live in Jakarta" yang digelar di Pantai Carnaval, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (19/9/2025). (IDN Times/Wahyu Kurniawan)

Jakarta malam itu tidak hanya mendapat konser rock. penonton mendapat pengalaman sinematik, sebuah perayaan futuristik di mana musik, cahaya, dan visual berpadu menjadi satu tubuh. 

Muse membuktikan bahwa dalam skala arena, megah bukan berarti berlebihan—melainkan presisi, detail, dan keberanian untuk membawa penonton ke dunia lain. Dan dari wajah-wajah yang keluar stadion dengan mata berbinar, jelas: misi itu berhasil.

Lebih dari itu, pertunjukkan ciamik Muse sukses menembus malam Jakarta, bukan hanya terdengar tapi terasa: di dada, di tulang, di nadi. Tiap bait lagu lama yang dimainkan memantik sorak rindu, sementara repertoar baru diterima dengan kehausan yang sama. 

Tak ada lagi jarak antara panggung dan penonton—hanya ada satu gelombang energi yang saling menelan.

Dan di tengah lautan manusia yang melompat, bernyanyi, dan menangis, satu hal terasa jelas: Muse tidak sekadar kembali. Mereka menyalakan ulang mimpi, mengingatkan bahwa musik, pada titik paling murninya, adalah ritual yang bisa membuat ribuan orang asing menjadi satu keluarga, walau hanya untuk satu malam.

Editorial Team