Bagi saya, tahun 2024 adalah tentang Ibu. Sepuluh bulan lalu (26 Februari), sosok yang paling penting itu maherat selamanya. Hari-hari setelahnya, setiap momen terasa sendu, hanya ada sedikit energi dari nada-nada ambient milik unit musik post-rock, MONO yang acap menghibur.
Hingga memasuki akhir Desember, bebunyian dari Takaakira ”Taka” Goto dan kolega sesekali menemani ihwal pengingat memoar masa lampau. Seakan musik mereka jadi sebuah ritual untuk mengenang, refleksi, sekaligus upaya-upaya kecil merayakan duka.
Meski tak selazim alunan jazz atau pop di kuping, langgam instrumen yang MONO suguhkan jadi candu bagi saya. Tanpa bait kata, lagu post-rock mereka seperti mantra dengan banyak tafsir dan tentunya terasa mengaduk emosi.
Acap menikmati musiknya melalui gawai selama perayaan duka, saya akhirnya punya kesempatan menyaksikan MONO lagi. Dalam rangakaian tour Asia dari album barunya berjudul Oath, band ini unjuk gigi di Joyland Jakarta 2024 pada 23 November lalu.
Lagu-lagu dari album paling mutakhir itu mendominasi repetoar MONO dalam penampilan kelimanya di tanah air. Sisanya, mereka memainkan hits jagoan dari album Pilgrimage of the Soul (2021), dan Hymn to the Immortal Wind (2009).
Instrumen bertekstur rock dengan sound mengaum khas band ini masih kentara terdengar dari karya barunya. Musiknya terasa megah dengan bising bebunyian gitar berlapis-lapis yang keluar dari amplifier bertumpuk di atas stage.
Band asal Jepang ini memainkan distorsi melalui dua pilar gitar dengan efek reverb, delay pedal, hingga tremolo yang berdigresi. Gebukan drum dan betotan bas terasa sedikit monoton mengikuti intensitas dinamika lagu.
Namun, saat semua perangkat dileburkan, seluruh instrumennya “menikah” menghasilkan riuh. Suaranya bersahutan diikuti gelombang sonik yang cukup banal bertalu-talu. Itu terasa menenangkan, bak punya unsur magis.