Nawat Itsaragrisil di Miss Universe 2025 (instagram.com/nawat.tv)
Para kontestan yang terlibat atau setidaknya yang menyaksikan insiden ini tentu merasakan tekanan tambahan. Mereka bukan hanya bersaing soal penampilan, bakat, dan pesan sosial, tapi juga harus mematuhi aturan promosi yang bisa jadi terasa berat dan bahkan mengecoh. Bila kewajiban unggahan sponsor menjadi beban, maka keseimbangan antara performa pageant dan marketing bisa terganggu.
Lebih lanjut, publik pasti akan bertanya: apakah peserta yang unggahannya aktif mendapatkan “keistimewaan”? Apakah peserta yang memilih untuk lebih fokus pada tugas sosial dan human-interest justru dianggap melanggar aturan?
Situasi ini dapat menimbulkan ketidakadilan terselubung. Selain itu, bagi negara yang delegasinya dianggap “melanggar”, reputasi nasional juga bisa terpengaruh, yang pada akhirnya bisa memengaruhi bagaimana delegasi tersebut disiapkan dan diperlakukan.
Kontroversi di panggung Miss Universe 2025 menunjukkan bahwa di balik gemerlap mahkota dan gaun malam, ada persinggungan antara bisnis, kekuasaan, dan martabat manusia. Apabila sebuah organisasi besar membaca ini sebagai panggilan untuk berubah, memperkuat penghormatan, memperjelas hak peserta, dan mempertanggungjawabkan eksekutif-nya, maka insiden ini bisa menjadi momen pembelajaran. Namun jika ini dibiarkan berlalu tanpa konsekuensi nyata, maka keretakan antara citra dan praktik pageant bisa makin melebar.