Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Jokowi pimpin rapat terbatas di Istana Kepresidenan Bogor pada Selasa (20/10/2020) (Dok. Biro Pers Kepresidenan)

Jakarta, IDN Times - Hari ini tepat setahun pemerintahan Joko "Jokowi" Widodo-Ma’ruf Amin memimpin Indonesia. Kinerja kabinet Indonesia Maju pun menjadi sorotan. Bagaimana dengan pendapat oposisi? 

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Mulyanto menyebut secara umum kinerja Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf di bawah standar. Kinerja yang ada sekarang jauh dari janji kampanye yang disampaikan kepada rakyat.

"Pemerintahan Jokowi di periode kedua ini ambyar. Hampir semua sektor kehidupan mengalami grafik penurunan. Yang naik hanya utang dan kasus penangkapan aktivis politik yang kritis terhadap pemerintah," ujar Mulyanto lewat keterangan tertulis, Selasa (30/10/2020).

1. Buzzer pemerintah memecah masyarakat Indonesia

Presiden Jokowi pimpin rapat terbatas di Istana Merdeka pada Senin (19/10/2020) (Dok. Biro Pers Kepresidenan)

Secara sosial kemasyarakatan masyarakat Indonesia terbelah menjadi "cebong-kadrun". Pemerintah yang seharusnya mendamaikan, ternyata malah jadi sumber perpecahan. Hal ini ditandai dengan adanya kelompok influencer di media sosial yang digerakkan sebagai buzzer dan didanai langsung oleh negara.

Bahkan, tak tanggung-tanggung besaran dana untuk influencer dan buzzer ini lebih besar daripada anggaran riset vaksin virus corona.

“Pemerintah gagal membangun rasa kebersamaan masyarakat. Dengan segala sumber daya dan kewenangan yang dimiliki, pemerintah harus nya bisa mencegah keadaan ini agar jangan sampai meluas. Tapi sayangnya pemerintah terkesan lebih menikmati kondisi ini dari pada menyelesaikannya. Sehingga masyarakat kita rentan dari perpecahan," ujar Mulyanto.

Secara politik, Mulyanto berpendapat, pemerintah merasa terganggu oposisi, baik di parlemen maupun di luar parlemen. Pemerintah menganggap oposisi sebagai ancaman, sehingga perlu ditiadakan dengan segala cara.

Padahal, menurut dia, demokrasi itu mensyaratkan adanya oposisi sebagai penyeimbang kekuasaan. Dengan adanya oposisi maka pemerintah dapat dikontrol dan diawasi kinerjanya.

Menuru Mulyanto, jika di parlemen hampir semua kekuatan partai politik dirangkul menjadi koalisi pemerintah, harusnya oposisi di luar parlemen diberi ruang yang cukup untuk menyampaikan pendapat dan kritiknya. Jangan didiskreditkan sebagai ancaman negara.

“Makanya wajar jika kelompok oposisi, yang semula lebih bersifat keumatan, yang disimbolkan dengan tokoh Habib Rizieq Shihab, semakin melebar dengan dideklarasikannya oposisi yang lebih bersifat kebangsaan dalam gerakan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), dengan tokoh sentralnya Profesor Din Syamsudin dan Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo," ujar Mulyanto.

2. Praktik politik dinasti masih tumbuh subur

Editorial Team

Tonton lebih seru di