Ilustrasi sampah plastik (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)
Kan pabrik kertasnya waktu itu belum ada peraturan, udah ada peraturan sih, tapi cuman gak ada yang menegakkan atau mereka yang lalai, nakal gitu kan ya, gak mau menjalankan peraturannya. Itu dia cuman ngambil sampah kertasnya, terus dijadiin kayak kardus, koran, karton gitu, sampah plastiknya itu dibuang ke desa-desa di sekitar pabriknya gitu kan.
Itu dari desa saya, tapi yang paling parah di Jawa Timur itu namanya Desa Bangun, jadi masyarakatnya tuh masih tradisional gitu kan, jadi petani, jadi sambil nunggu padinya panen itu mereka jadi petani plastik, nyerahin yang bisa didaur ulang, yang mana sama yang gak bisa.
Yang laku dijual, yang bisa didaur ulang itu dijual ke pabrik daur ulang plastik, terus dijadiin pelet plastik, tapi kan harus dicacah dulu kecil-kecil, dicuci, dan dicucinya pakai air sumur atau air sungai, terus dibuangnya ke sungai. Jadi mereka gak ada sumber air minum yang bersih buat minum, buat mandi, gak ada. Jadi, harus beli air galon.
Terus melepas mikroplastik juga, mikroplastik itu juga remahan plastik yang ukurannya kurang dari 5 milimeter sama kayak plankton, jadi gak terasa kalau kita hirup tampaknya kalau terlalu banyak di badan. Itu dia karena benda asing nanti badan kita gak mau terima terus terjadi peradangan, sarafnya diganggu, hormonnya diganggu, makanya sekarang banyak cewek-cewek yang mensnya kecepetan.
Mikroplastik sendiri kalau di lingkungan dia nanti kayak magnet, dia pada ditempelin atau nyerap, menyerap polutan-polutan yang ada di sekitar dia gitu. Jadi, itu mikroplastik walaupun kecil banget dampaknya luar biasa bagi kita, dan sudah banyak banget pekerjanya yang sakit-sakitan, tapi tetap saja bekerja karena gak ada pilihan lain terus itu yang bisa didaur ulang gitu kan.
Peletnya itu dijual ke China untuk dibikin produk yang baru, yang gak bisa didaur ulang atau yang gak laku itu dijual ke pabrik tahu atau pabrik kerupuk, yang gak laku itu kayak remah-remahnya gitu loh, kayak apa ya, scrub. Jadi bukan untuk perfect, sempurna gitu kan, tapi yang remah-remah, kecil-kecil gitu, lembaran-lembaran. Nah, itu jadi bahan bakar buat pabrik tahu sama pabrik kerupuk.
Kalau dibakar, plastik itu kan, untuk membuat plastik yang kuat, ada warnanya, lentur, itu racunnya banyak sekali yang sebenarnya kita gak boleh terpapar sama racun-racun itu gitu kan. Kalau dibakar, nanti racunnya lepas semua. Terus juga bisa melepas gas rumah kaca juga yang menyebabkan perubahan iklim, menyebabkan banyak sekali dampak-dampak kesehatan yang serius bagi kita, bahkan kematian juga gitu. Banyak juga sekarang abu-abunya, abunya yang jatuh ke tanah itu dimakan ayam terus telur ayamnya itu mengandung dioksin yang melebihi tingkat level yang sehat.
Papa, tim ecoterm, itu kita meneliti telurnya, kan di sini gak ada laboratorium, jadi berangkat ke Swiss untuk cuman ngecek kadar dioksin di telur itu seberapa. Berapa ya, seingat aku cuma, berapa ya, 50 kali lipat udah jauh banget melewati level yang sehat gitu. Jadi gak boleh makan telur di sana, gak ada air minum yang bersih, udaranya sudah kotor, telurnya juga udah berbahaya gitu.
Jadi dampaknya sudah luar biasa yang sebenarnya dampak ini kan bukan kita yang harus terkena gitu loh. Maksudnya kan, kenapa kita harus merasakan ini, padahal ini bukan sama kita gitu kan, kan ini sampah dari negara maju, jadi ya, Nina surati mereka.