Hal mendasar yang paling menarik bagi kami bertemu dengan anak-anak muda adalah mampu mengubah cara berpikir mereka. Yang dulu kalau istilah yang dipakai di IBEKA, anak-anak itu berjalannya ke luar. Jadi, you’re not thinking about yourself, tapi berpikir tentang orang lain. Nah, ini mereka diajak berjalan ke dalam. Artinya, kita mampu menggunakan logika kita dan hati kita. Dan yang namanya komunikasi antara logika dengan hati kita, itu harus selalu terjadi.
Komunikasi itulah yang memunculkan akal sehat. Lulus dari universitas, ilmu yang kita terima di kampus itu kan perjalanan ke luar karena masih materialistik, mencari pekerjaan dan sebagainya. Sementara, kalau yang kita ajarkan, ini adalah spiritual journey. Mereka dilatih untuk punya empat kompetensi. Kompetensi keteknikan, karena nanti ilmunya dipakai untuk membantu rakyat, harus profesional juga.
Yang kedua kompetensi kejuangan. Dia harus mampu dan mau meninggalkan zona nyaman dengan berada di desa-desa terpencil selama bertahun-tahun sampai rakyat betul-betul terbangun secara energi, ekonomi. Lalu ada kompetensi kerakyatan. Mereka mampu meng-capture passion rakyat. Orang-orang di desa maunya apa. Terus berupaya mencari apa yang diinginkan. Lalu yang terakhir, ini sangat penting, yaitu kompetensi keikhlasan.
Sehingga, waktu diskusi, anak-anak waktu lulus sekolah berpikir apa yang bisa mereka lakukan untuk orang banyak. Dia akan melihat kiri-kanan. Di desa itu resources banyak banget. Yang kurang adalah intelectual capacity. Nah, ini kan hal yang bagus, membuat anak-anak memiliki empat kompetensi kemudian di-deploy dan di sana mereka akan berpikir bahwa negeri kita itu sangat kaya. Bisa dibangun, sangat luar biasa potensinya.
Kita ingat zaman kita dulu kuliah, pernah dengar namanya Kasim Arifin. Saya dulu protes ke IPB itu kenapa kita tidak mampu mencetak Kasim Arifin lainnya. Apa yang dia tinggalkan itu sangat luar biasa. Saya ingin mengajak kamu ke sana untuk melihat apa saja yang sudah ia lakukan di Waimital. Bayangkan kalau kita punya 1.000 Kasim Arifin. Wah, luar biasa. Itu yang namanya kedaulatan pangan dan energi, itu bukan hanya mimpi. Semua rakyat jadi sehat, lingkungan terjaga.
Kalau saya harus bercerita, yang paling penting dan agak kurang dari pendidikan formal itu menumbuhkan rasa empati, yang sebetulnya rasa empati di anak-anak muda itu ada tahapannya. Sebenarnya tidak hanya anak muda, orang tua juga. Tahap yang paling sering terlihat itu pertama dan kedua. Yang pertama itu misalnya kalau ada orang meninggal dunia itu kita ikut berbelasungkawa. Yang kedua itu pro sosial.
Itu kalau melihat ada orang sudah tua, yang seharusnya sudah istirahat, dia masih menggotong jualan keliling itu muncul rasa iba kita. Itu saya yakin semua orang di dunia punya perasaan seperti itu. Padahal, tahapan yang paling keren itu kita menambah tiga tahapan level of empathy itu. Yang ketiga itu sifatnya resiplokal, timbal balik. Kalau tidak mau hidupmu rusak, ya jangan rusak lingkungan. Tidak mungkin Kalimantan itu rusak seperti sekarang jika kita punya empati seperti ini.
Ini yang kita ajarkan ke anak-anak muda. Lalu naik ke level empat itu adalah sudah berpikir bagaimana memampukan orang, bagaimana hidup itu berbagi, sederhananya seperti ini. Kalau melihat ada orang yang rumahnya gelap gulita karena tidak ada listrik, dia langsung berpikir sedemikian rupa untuk melakukan apapun untuk membuatnya terang. Yang tidak punya air bersih, punya air bersih, sehingga ada perbaikan dalam kondisi masyarakat.
Nah, the ultimate level of empathy itu yang kita sebut democratization in all living aspect. Indonesia sudah dibilang negara yang luar biasa. Akses itu sudah untuk siapa saja, bukan hanya untuk yang kaya bahkan akses untuk menikmati resources di Indonesia. Lima level of empathy ini kita ajarkan di dalam pelatihan 45 hari itu sehingga waktu kita terjunkan dia akan berpikir apa yang bisa dilakukan untuk masyarakat. Dia akan punya pemikiran selain menjadi sarjana profesional, dia juga sarjana rakyat. Ini kalau dilakukan terus menerus dan mencapai critical mass dari anak-anak muda yang punya pemikiran seperti itu luar biasa. Kita 1.000 saja belum, masih hampir.