IDN Times, Jakarta – “Sehari sesudah gempa bumi dan tsunami meluluh-lantakkan sebagian wilayah Aceh. Kami tiba di Lambaro, sekitar 20 menit dari Bandara Sultan Iskandar Muda mengarah ke pendopo gubernuran di tengah kota Banda Aceh. Saya lihat Menteri Sri Mulyani menangis. Uni Lubis bercucuran air mata sambil menyorotkan handycam-nya.”
Jusuf Kalla menuturkan pengalaman tragedi kepada penulis Fenty Effendy yang memuatnya dalam buku berjudul “Ombak Perdamaian: Inisiatif dan Peran JK mendamaikan Aceh. Buku itu diluncurkan pada peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh, 26 Desember 2014.
Pak JK, saat itu wakil presidennya Pak Jokowi, mengajak saya menghadiri peluncuran buku itu, yang berlangsung di Pendopo Gubernuran di Banda Aceh. Tawaran mendadak di pagi hari yang bikin saya terharu, karena Pak JK mengingat kehadiran saya bersama dia, 27 Desember 2004, tepat sehari sesudah tsunami yang membuat Banda Aceh, Meulaboh, Nias, dan sejumlah kabupaten di Nangroe Aceh Darussalam, luluh-lantak.
Dengan menyesal, saya terpaksa menolak ajakan Pak JK, karena terlanjur berjanji memberikan pelatihan untuk Sekolah Jurnalistik Indonesia di Semarang.
Melihat ribuan mayat disusun berjajar di kedua sisi jalan di kawasan Lambaro, JK mengaku hampir menangis. “Sebenarnya saya juga mau pingsan waktu itu, astagfirullah, astagfirullah,” kata JK berkali-kali.
Hari ini, 26 Desember 2022, genap 18 tahun tsunami di Aceh. Peristiwa bencana alam terbesar dengan korban paling besar dalam 50 tahun terakhir. Sekitar 180 sampai 200 ribu orang tewas, tak ada yang tahu persis jumlahnya. Soal data, negeri ini tergolong payah.
Berikut kisah yang tak pernah saya lupakan dan menjadi tonggak penting dalam karier jurnalistik saya. Membentuk tebal rasa empati yang menjadi misi mulia dalam profesi yang saya tekuni selama tiga dekade.