Pada pelanggaran HAM berat masa lalu, Theo mengatakan, pada periode pertama Jokowi mengalami kemandekan dan ketiadaan inisiasi yang signifikan.
Berkas sembilan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dikembalikan Kejaksaan Agung ke Komnas HAM. Di antaranya peristiwa 1965-1966, Talangsari Lampung 1989, Penembakan Misterius 1982-1985, Trisakti, Semanggi I, Semanggi II , Mei 1998, Penghilangan Paksa 1997-1998, Wasior dan Wamena, Simpang KAA 3 Mei 1999 Aceh, Rumoh Geudong, dan Pos Sattis Aceh.
Theo mengatakan, rekonsiliasi tidak dapat dijalankan negara dengan ketiadaan landasan hukum yang mengikat, seperti Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang perspektifnya HAM dan penyintas.
Menurut Theo model remedy yang diambil pemerintah dalam menangani kasus pelanggaran HAM masa lalu, hanya bersifat simbolis.
"Dengan mengundang keluarga korban dan pendamping pelanggaran HAM berat tanpa melakukan tindak lanjut, dan menggelar Simposium 1965 tanpa permintaan maaf dan upaya penyelesaian yang konkret," tutur dia.
Klaim pendekatan non-yudisial yang dilakukan pemerintah, kata Theo, belum memenuhi makna substantif remedy non-yudisial, dan tidak cukup untuk meniadakan pendekatan yudisial untuk mengembalikan kebenaran, keadilan, rehabilitasi, korban dan repatriasi korban.
Theo menyebutkan, sejumlah kelompok kerja yang dibentuk
pemerintah tidak dapat bekerja secara efektif seperti, Tim Gabungan Penuntasan HAM berat masa lalu di era kepemimpinan Menko Polhukam Tedjo Edhi.
Tim Terpadu pada era kepemimpinan pertama, Menko Polhukam Luhut Binsar, dan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang berganti menjadi Tim Gabungan Terpadu Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, pada era Menko Polhukam Wiranto.
"Pada periode ini pemerintah mulai menjajaki mediasi Tanjung Priok dan deklarasi damai di Talangsari yang mekanismenya mendapatkan tentangan beberapa pihak," kata Theo.