Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pexels.com

Jakarta, IDN Times - Kekerasan pada perempuan terus meningkat setiap tahun. Korban kekerasan kerap tidak berani melapor pada pihak berwajib lantaran takut menerima stigma buruk dari masyarakat.

"Belum lagi ditambah semua kompleksitas yang dialaminya. Saya pikir sangat penting peran psikolog untuk masuk ke dalam (masalah) ini, apalagi kalau korbannya adalah anak-anak," ujar Psikolog Yayasan Pulih Livia Iskandar kepada IDN Times, Sabtu (11/8).

Livia lantas mencontohkan kasus pemerkosaan inses di Jambi beberapa waktu lalu. Seorang remaja berusia 15 tahun divonis penjara, setelah terbukti mengaborsi bayi di kandungannya. Remaja berinisial WA tersebut hamil setelah diperkosa delapan kali oleh kakak kandungnya berinisial AA yang berusia 18 tahun.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Muara Bulian, Jambi, menjatuhkan vonis penjara enam bulan penjara pada WA dan tujuh tahun penjara pada AA. Saat ini, kasus tersebut sedang dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi Jambi oleh Organisasi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan.

"Trauma yang dialaminya pasti sangat berat, karena kasus ini terjadi pada seluruh anggota keluarganya. Dia, kakaknya, juga ibunya (yang diduga membantu menggugurkan bayi)," kata Livia.

1. Stigma negatif adalah bentuk pembunuhan karakter

Ilustrasi (Pixabay.com/Counselling)

Menurut Livia, perempuan korban kekerasan seksual kerap menerima stigma negatif dari masyarakat. Dalam kasus pemerkosaan inses di Jambi, korban terancam diberikan sanksi adat berupa pengusiran.

"Bayangkan saja dengan segala hal yang terjadi pada keluarga ini. Kalau si anak bebas, dia mau tinggal sama siapa? Saya pikir si ibu dan anak ini harus mendapatkan proses yang lebih adil," kata dia.

Menurut Livia, masyarakat perlu diedukasi mengenai dampak stigma negatif yang disematkan pada korban kekerasan seksual, apalagi anak-anak. Masyarakat biasanya hanya fokus pada hukuman, bukan pemulihan.

"Masyarakat perlu diberikan informasi sehingga, gak hanya berpikir korban dihukum atau playing victim begitu. Di masyarakat kita, korban kekerasan seksual sering kali malah ditanyai bajunya kayak apa, apakah dia jalan-jalan malam hari, apakah sikapnya menggoda, dan sebagainya. Ini kan bisa jadi pembunuhan karakter si korban," ujar dia mencontohkan.

Oleh sebab itu, kata dia, korban kekerasan seksual hendaknya diberikan pemulihan jangka pendek dan jangka panjang. Misalnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) aktif memberikan rehabilitasi psikologis dan psikososial. Selain itu, korban juga dipastikan tidak mengalami stigma negatif dari lingkungan sekitarnya. 

2. Aparat penegak hukum belum semua sensitif gender

Editorial Team

Tonton lebih seru di