Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2024 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada Senin (28/7/2025). Agenda sidang digelar dengan mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pihak pemerintah.
Pemerintah menghadirkan Pakar Hukum Tata Negara Ahmad Redi sebagai ahli. Dalam keterangannya di persidangan, Redi menyatakan, revisi UU TNI tidak semata-mata merupakan produk hukum administratif. Namun UU TNI ini dibuat juga hasil dari kesepakatan politik antara Presiden ketujuh RI, Joko "Jokowi" Widodo dan Presiden RI, Prabowo Subianto.
"Pertama secara hukum administrasi pembentukan peraturan undang-undangan SK Ketua DPR terkait penetapan proyek nasional 2025 yang memasukan rancangan undang-undang TNI sebagai bagian dari program legislasi secara administrasi hukum itu adalah merupakan produk perencanaan yang memang secara formil sah dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat," ucap dia di hadapan hakim konstitusi yang hadir di ruang persidangan.
Redi memaparkan, kesepakatan politik yang terjadi pada estafet kepemimpinan Jokowi dan Prabowo terlihat saat proses legislasi yang telah terus dilanjutkan, di mana dirintis pada masa pemerintahan sebelumnya dan dilanjutkan di era kepemimpinan Prabowo. Ia menilai, jika Prabowo tidak bersurat kepada DPR usai penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), bisa diartikan tidak ada keberlanjutan secara politik mengenai nasib RUU TNI itu.
Ia menilai, upaya Prabowo bersurat dan mengubah wakil pemerintah dari Menteri Hukum dan HAM menjadi Menteri Hukum, serta menambah menteri lain, menunjukkan komitmen politik untuk melanjutkan proses legislasi tersebut. Redi pun menyebut, keberlanjutan ini sebagai carry over.
"Hal itu dibuktikan dengan adanya surat dari presiden kepada DPR yang mengubah komposisi perwakilan pemerintah dalam pembahasan RUU TNI. Kemudian secara politik, ternyata presiden pun bersurat kepada DPR paska ditetapkan proyek nasional itu dengan mengubah nama menteri yang mewakili presiden di DPR," tuturnya.
"Artinya tadi itu, misalnya Menteri Hukum dan HAM yang menjadi wakil, menjadi Menteri Hukum. Ini ada tidak hanya secara administrasi formil saja, tapi secara politik. Artinya presiden bersepakat secara administratif dan secara politik untuk meneruskan. Nah, kata meneruskan ini, menurut saya, harus dimaknai sebagai carry over. Harus dimaknai sebagai terusan, sebagai operan, sebagai luncuran karena secara politik Presiden Prabowo memilih untuk melanjutkan apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi," imbuh dia.