Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
AIR. Mobil air isi ulang yang biasa mangkal di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara, untuk memenuhi kebutuhan air bersih untuk warga. Foto oleh Rosa Cindy/Rappler

oleh Rosa Cindy 

JAKARTA, Indonesia—Rohani sedang duduk di pelataran rumahnya sembari mengawasi pekerjaan anaknya, siang itu . Di dalam bangunan sempit bercat hijau itu, tampak tiga putrinya yang masih belia. Mereka sedang menyiapkan bahan masakan untuk dijual di warung nasi uduknya yang terletak di salah satu kawasan pesisir Jakarta, Muara Baru.

Tak seperti kebanyakan orang yang tengah memasak, ketiga anak perempuannya itu tampak hati-hati menggunakan air dari sebuah gentong. Dengan sebuah gayung kecil, seorang dari mereka mengambil sedikit air untuk mencuci beras, sayuran, dan bahan penganan lainnya. Sedangkan anaknya yang lain, mencuci peralatan memasak dengan air yang tersedia di bak kecil menyerupai baskom.

Tak ada air mengalir dari ledeng. Air dalam baskom dan gentong itu dituang langsung dari jeriken yang dibeli Raohani dari tukang air keliling. Dari sekian banyak kesulitan hidup, ketiadaan air bersih di kawasannya tinggal merupakan salah satu yang paling berat dirasakannya. “Di sini enggak ada air bersih. Adanya cuma buat pelelangan,” tutur perempuan paruh baya yang sudah menetap di kawasan Muara Baru sejak 1999 itu.

Warga di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara, tak bisa merasakan kemudahan mendapatkan air lewat aliran dari ledeng. Air bersih hanya bisa diakses oleh mereka yang berada di tempat pelelangan ikan (TPI) yang terletak di ujung kawasan Muara Baru. 

Beberapa tahun lalu, menurut Rohani, air bersih pernah bisa dinikmati warga Muara Baru. Meski pasokannya tidak terlalu banyak, hal itu merupakan kemewahan yang dirasakan warga setelah belasan bahkan puluhan tahun tidak bisa menikmati aliran air. 

Namun, fasilitas tersebut tak lama dinikmati warga. Aliran air terhenti saat jalan utama Muara Baru ditinggikan sekitar tiga tahun yang lalu. Warga kembali dilanda kesulitan air. “Waktu jalan ditinggiin, kan hancurin aspal jalan ini dulu. Itu ternyata banyak pipa yang kena, jadi rusak dan saluran air putus,” jelasnya.

Teguh, seorang karyawan sebuah minimarket di kawasan itu mengungkapkan hal yang tak jauh berbeda.  “Sekarang udah mulai ada lagi sih. Tapi tetap yang utama itu pelelangan, soalnya mereka yang terus dapat dan kualitasnya diperbaiki. Tapi sebagian warga juga udah mulai dapat,” katanya.

Default Image IDN

Terpaksa beli air

Teguh termasuk warga yang belum juga mendapatkan aliran air bersih. Sejak menjadi warga Muara Baru sekitar empat tahun lalu, rutinitas membeli air dalam jeriken dilakoni Teguh. Satu jeriken dibanderol Rp3.000. Untuk kebutuhan pribadinya, Teguh membutuhkan enam jeriken yang bisa ia gunakan selama tiga hari.  “Itu belum termasuk kebutuhan air minum,” ujarnya. 

Merogoh kocek lebih juga merupakan hal yang harus dirasakan pemilik usaha minimarket tempat Teguh bekerja. Tanpa pasokan air ledeng, pemilik minimarket itu harus membeli sekitar tiga ton air bersih setiap dua minggu. “Saya tidak tahu bos saya beli air dalam jumlah pasokan besar ke mana dan berapa harganya. Tapi dia langsung beli untuk dua minggu,” sambungnya.

Ketiadaan air bersih yang terjadi menahun itu lantas menjadi peluang usaha bagi penduduk setempat. Para penjual  lazimnya mendapatkan air bersih dengan cara membeli dalam jumlah besar ke tempat-tempat sekitar Jakarta, seperti Tangerang.  Ada pula penjual lainnya yang memiliki sumur kecil di rumahnya sebagai sumber air.  

Air-air dari penampungan mereka kemudian dipindahkan ke dalam jeriken, dan dijual eceran kepada warga menggunakan gerobak. Dalam satu gerobak, seorang penjual air keliling bisa membawa sekitar 12 sampai 14 jeriken.

Menurut Teguh, kualitas air dari para penjual keliling itu cukup baik. Namun, ia tetap menyayangkan ketiadaan upaya pemerintah menyalurkan air bersih kepada mereka. “Ya untuk air saja kita harus bayar mahal. Padahal itu kebutuhan utama orang hidup. Tapi kita selama ini sudah biasa harus keluar uang lebih untuk beli air,” ujar Teguh.

Muara Baru bukan satu-satunya

Bukan hanya Muara Baru saja yang tidak memiliki akses air bersih. Jika merujuk pada informasi dalam laman resmi PT Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya, daerah pinggiran Jakarta—terutama bagian Utara hingga Barat, juga kesulitan air. 

Irfan, warga yang tinggal di kawasan Joglo selama 24 tahun, mengaku sepanjang tinggal di kawasan tersebut, air ledeng tak pernah mengalir ke rumahnya. Hal itu ia rasakan pula saat tinggal di kawasan Pesanggrahan pada 1988 hingga 1994. 

Namun demikian, ia mengaku tak ambil pusing, apalagi sampai harus membeli air jeriken. Pasalnya, tak seperti di kawasan pesisir yang air tanahnya asin, daerah tinggalnya di Jakarta Barat itu kaya akan air tanah.  “Bersih juga. Jadi selama ini ya pakai pompa air gitu,” kata Irfan.

Sebagian besar warga di kawasan itu, menurutnya, memang tak lagi bergantung pada air ledeng pemerintah. “Enggak, enggak perlu beli air. Warga lain juga sepertinya sama dengan saya, pakai pompa air. Karena di sini memang enggak ada yang jual air juga sih,” imbuhnya.

Penggunaan air pompa sebagai solusi payahnya air ledeng dari PAM Jaya, sudah menjadi hal yang umum ditemui di Jakarta. Namun, kini Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sedang gencar-gencarnya menggaungkan wacana melarang penggunaan air tanah. Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menyebut penggunaan air tanah yang tak terkendali menyebabkan terus turunnya permukaan tanah Jakarta. 

“Ini sesuatu yang sangat serius. Kita tidak sadar setiap tahun permukaan tanah di wilayah Jakarta turun antara 30 sentimer hingga 60 sentimeter. Nah, harus kita buat regulasinya. Kan belum ada aturannya. Harus yang paling kuatlah yakni perda. Nanti kita lihat,” ujar Sandiaga, belum lama ini. 

Rencana pelarangan penggunaan sumur air tanah berawal dari ditemukannya sejumlah pelanggaran yang dilakukan puluhan gedung-gedung pencakar langit (skycrapper). Dalam inspeksi mendadak (sidak) yang digelar selama 21 hari, Pemprov DKI menemukan  sejumlah gedung yang melanggar aturan pemanfaatan air tanah dan pengolahan limbah air.

Karena itulah, Pemprov DKI merasa rencana penerbitan perda semakin beralasan. Padahal, rencana itu muncul di tengah kondisi banyak warga yang tidak punya pilihan selain mengambil air tanah. Di sisi lain, persoalannya makin kompleks karena air tanah yang diambil warga umumnya berasal dari sumur dangkal yang sangat rentan tercemar. 

Menurut Direktur Utama PT PAM Jaya setidaknya 80% air tanah di Jakarta sudah tercemar bakteri e-coli dan mengandung unsur logam berat yang berbahaya bagi tubuh. “Bagaimana mau jaga keseimbangan dalam tanah kalau airnya disedotin terus-menerus tanpa kendali?” tutur Erlan.

Default Image IDN

Pengelola tak mampu

Erlan menuturkan, wilayah yang sudah mendapatkan penyaluran air bersih umumnya hanya kawasan tengah Jakarta. Jaringan perpipaan yang ada pun baru mampu menjangkau 60% daerah di Jakarta. Jaringan tersebut utamanya dimiliki dua mitra PT PAM Jaya, yakni PT. PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT. Aetra Air Jakarta (Aetra). 

Dia menjelaskan, distribusi air di Jakarta dibagi dalam dua wilayah besar yang dipisahkan oleh Sungai Ciliwung, yaitu Jakarta belahan barat dan belahan timur. Belahan barat menjadi wilayah konsesi Palyja, sedangkan belahan timur menjadi wilayah konsesi Aetra. PAM Jaya sendiri tidak secara langsung memiliki konsesi dalam operasi distribusi air bersih ke pelanggan. 

“Nah, di dalam wilayah manapun, jika ada (tempat) di area Palyja maupun Aetra, yang tidak bisa terlayani, PAM Jaya akan berusaha melayaninya, seperti Rusun Daan Mogot, Rusun Pluit, Marunda Kepu, yang PAM Jaya rintis pembuatan jaringannya,” jelas Erlan. 

Sesuai perjanjian kerja sama (PKS) antara PAM Jaya dan kedua mitranya itu pada Oktober 2001, Palyja dan Aetra disepakati bertugas mengelola air baku dan membuat jaringan, sedangkan PAM Jaya bertugas menarik tagihan dari pelanggan. Faktanya, masih banyak lokasi yang belum terlayani oleh Aetra maupun Palyja. “Tindakan ini (pembangunan pipa) hanya dapat dilakukan jika ada supply air dan memungkinkan,” ujar Erlan. 

Lebih jauh, Erlan mengatakan, kelangkaan air bersih bagi sebagian warga Jakarta tidak lepas dari kelalaian Pemprov. Menurut dia, ada kewajiban pemerintah yang tidak dijalankan dengan baik, salah satunya menyangkut investasi.

“Ya, investasinya enggak dijalankan. Mana bisa berjalan kalau investasinya enggak jalan? Air kan pelayanan publik. Dan pelayanan publik itu peran pemerintah. Kalau PAM Jaya kan hanya lembaga pelaksananya, bukan pengatur kebijakan publiknya,” kata Erlan.

Default Image IDN

Kontrak bermasalah

Masalah investasi yang dikeluhkan Erlan terkait pemasangan jaringan perpipaan yang memang membutuhkan anggaran besar. Menyoal kewajiban investasi tersebut, diatur dalam kontrak kerja sama antara Pemprov DKI dan perusahaan pengelola air. Kontrak yang disebut PKS itu awalnya ditandatangi pada 6 Juni 1997, kemudian diperbaharui dengan PKS pada 22 Oktober 2001. 

Kerja sama yang disepakati berlangsung 25 tahun itu mendapatkan banyak protes dari berbagai pihak dari tahun ke tahun. Pasalnya, poin-poin kontrak itu dinilai hanya menguntungkan pihak swasta. Secara berkala ada proses renegosiasi poin kontrak, namun hasilnya tidak dirilis ke publik.

Kontrak itu sejatinya berakhir pada 2023. Menjelang masa berakhirnya kontrak itu, sebuah draft restrukturisasi disiapkan sejak September 2017 untuk memperbarui poin-poinnya. Namun proses itu berlangsung cukup panjang.

Pada saat bersamaan, gelombang antiswastanisasi semakin menguat di masyarakat. Puncaknya, gerakan yang diadvokasi  Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) akhirnya mengajukan gugatan melalui Mahkamah Agung (MA).

Koalisi itu terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Solidaritas Perempuan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRUHa), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi Jakarta), Koalisi Antiutang (KAU), Urban Poor Consortium (UPC), Front Perjuangan Pemuda Indonesia, Jaringan Rakyat Miskin Kota, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Pada 10 Oktober 2017, MA memutuskan mengabulkan gugatan tersebut. Dalam putusan No 31 K/Pdt/2017 itu, MA menilai, kerja sama antara PAM Jaya dan dua mitra swastanya sejak 6 Juni 1997 itu tidak meningkatkan pelayanan air bersih bagi warga Jakarta. Belakangan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berniat mengajukan PK terhadap perkara tersebut. 

Manajer Kampanye Pangan Air dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana mengatakan, PK yang diajukan Kemenkeu menunjukkan bahwa pemerintah gagal memahami amanat konstitusi dalam putusan MA tersebut. Selain tanpa disertai bukti baru, dalam pengajuan PK, Kemenkeu juga hanya mempertanyakan kategori gugatan citizen lawsuit KMMSAJ. 

“Secara jelas dalam UUD 1945 yang juga dikutip dalam putusan MK terkait putusan uji materi UU SDA di antaranya disebutkan bahwa hak rakyat atas air harus memperhatikan kelestarian lingkungan hidup serta sebagai cabang produksi penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak, air harus dikuasai negara,” ujar dia. 

Karena itu, Wahyu meminta, baik Pemprov maupun pemerintah pusat, tidak lari dari tanggung jawab. Pasalnya, selama ini, kelangkaan air di ibu kota, salah satunya disebabkan kelalaian Pemprov DKI dalam tata kelola air. Selain itu, putusan MA juga menyebutkan bahwa swastanisasi air menyebabkan kerugian negara. 

“Lebih tepatnya, kebijakan penyerahan pengelolaan air pada swasta turut mengakibatkan terabaikannya hak rakyat atas air. Karena itu, ini tidak boleh dibiarkan. Air merupakan sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak maka prioritas utama yang diberikan pusahaan atas seharusnya BUMD atau BUMN,” cetusnya. 

—Rappler.com

Editorial Team