Jakarta, IDN Times - Ahli tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengaku kesal lantaran kembali jadi sasaran serangan digital jelang aksi demo besar yang dilakukan mahasiswa. Akun media sosial dan WhatsApp-nya tak bisa diakses sejak 20 April 2022 lalu.
Ada dua foto yang diunggah di Instagram Bivitri. Pertama, poster berisi foto Bivitri dengan tulisan "mahasiswa ini ngapain, mau-maunya ditipu sama PKS dan Demokrat untuk demo di bulan puasa."
Unggahan kedua, poster dengan foto pria mengenakan kaos FPI dan membawa kertas dengan logo Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Di unggahan itu, tertulis kalimat seolah disampaikan Bivitri "ormas intoleran seperti FPI dan HTI harus dibubarkan." Di kedua unggahan tadi, peretas turut melampirkan nomor ponsel Bivitri.
Kini, akun Instagram Bivitri lenyap usai diretas. Ketika dihubungi oleh IDN Times pada Jumat (22/4/2022), Bivitri mengaku masih belum bisa mengakses akun medsosnya hingga hari ini. Ia mengatakan, sudah menghubungi Meta, perusahaan yang mengelola kedua platform tersebut.
Ia mengaku, inibukan kali pertama saja dijadikan sasaran aksi peretasan oleh pihak-pihak tertentu. Ketika ramai gerakan Reformasi Dikorupsi pada 2019 lalu, ponsel dan akun medsosnya juga pernah diretas.
Bivitri menduga, ia kembali jadi target aksi peretasan karena dianggap kerap berkomunikasi dengan mahasiswa dan menggerakan mereka untuk turun ke jalan.
"Saya dan beberapa teman lainnya memang sering menyemangati mahasiswa. Saya bilang karena kita masuk ke dalam golongan orang previlleged yang menimba ilmu hingga di bangku kuliah dan kelompok intelektual, jadi bila menyaksikan ada sesuatu yang tidak benar ya harus disuarakan. Ngomongnya lebih ke hal-hal semacam itu sih," kata Bivitri melalui telepon.
Ia pun menepis persepsi yang menyebut ikut mendanai aksi mahasiswa pada 21 April 2022 lalu. "Orang seperti saya dan Isnur (Ketua YLBHI), dapat dana (untuk modalin mahasiswa demo), dari mana coba?" tanya dia sambil tertawa.
Ia juga menjelaskan keganjilan lantaran pihak Meta sudah mengirimkan tiga kali SMS untuk proses verifikasi ke nomor kontak Bivitri, tetapi tak ia terima. "Sebagai informasi, provider telepon seluler saya milik pemerintah ya," katanya melempar candaan.
Apakah Bivitri akan melaporkan serangan digital yang ia alami ke polisi?