Jakarta, IDN Times - Mahkamah Agung akhirnya memberikan penjelasan mengapa mereka menganulir putusan bagi terdakwa kasus korupsi pembangunan PLTU Riau-1, Idrus Marham. Alhasil Idrus yang semula divonis penjara lima tahun berubah menjadi dua tahun.
Putusan MA itu jelas menyebabkan publik bingung, mengapa di tingkat pengadilan banding hukumannya yang telah diperberat malah dikorting. Kepala Biro Humas dan Hukum Mahkamah Agung, Abdullah mengatakan dalam pandangan hakim agung, penggunaan pasalnya keliru. Seharusnya, pasal yang digunakan adalah pasal 11 Undang-Undang Tipikor nomor 20 tahun 2001.
Isi dari UU tersebut yakni "seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga hadiah atau janji atau janji tersebut diberikan karena ia memiliki kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, maka mereka bisa dipidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun. Atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta." Menurut Abdullah, Idrus tidak terbukti menerima duit suap, tapi menggunakan pengaruhnya sebagai Plt Ketua Umum Golkar untuk bisa mempengaruhi proyek PLTU di Riau.
"Menurut majelis hakim kasasi kepada terdakwa lebih tepat diterapkan dakwaan melanggar pasal 11 UU Tipikor yaitu menggunakan pengaruh kekuasaannya sebagai Plt Ketua Umum Golkar," kata Abdullah ke media pada Rabu malam (4/12).
Ia juga mewanti-wanti kepada publik tidak ada istilah di dalam hukum, hakim agung memotong atau memberi diskon kepada seorang terdakwa.
"Saya mengimbau agar menggunakan istilah di dalam hukum dan peradilan. Tidak menggunakan istilah-istilah lain di luar hukum dan peradilan, misalkan korting dan potong," tutur dia lagi.
Lalu, bagaimana respons KPK terhadap sikap MA yang tetap bersikukuh menganulir putusan di tingkat pengadilan banding?