Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Jakarta, IDN Times - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat (22/6) akhirnya menjatuhkan vonis pidana mati kepada pimpinan Jamaah Ansharut Daullah (JAD), Aman Andurrahman alias Oman Rochman. Pria kelahiran Sumedang itu dinilai oleh majelis hakim

terbukti terlibat dalam sejumlah aksi teror, salah satunya adalah peristiwa 'Bom Thamrin'

Namun dalam pandangan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, pidana mati justru bukan lah hukuman yang efektif dan memberikan efek jera bagi tindak kejahatan terorisme.

“Serangan-serangan mematikan terhadap warga sipil tentu merupakan hal yang sangat mengerikan dan pemerintah berhak untuk mengadili para pelaku. Namun, pemberian putusan hukuman mati terhadap pelaku, termasuk narapidana teroris, jelas tidak memberi efek jera yang besar. Hal ini sudah berulang kali terbukti," ujar Usman melalui keterangan tertulis yang diterima oleh IDN Times, pada Jumat malam (22/6).

Mengapa demikian? Sebab, toh di Indonesia hukuman mati masih menjadi bagian dari hukum positif.

1. Hukuman mati dianggap melanggar hak asasi manusia 

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Publik mengetahui tindakan teror yang dilakukan Aman memang telah merenggut ratusan nyawa yang tidak berdosa. Namun, Usman melihat hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya tetap melanggar HAM.

“Hukuman mati melanggar hak untuk hidup dan merupakan hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi dan sanksi ini merendahkan martabat manusia karena menyangkal hak orang untuk hidup," kata dia.

Sayangnya, kata dia, pemerintah sering menjadikan langkah ini sebagai alat untuk menunjukkan 'kekuatan' di mata masyarakat ketika menghadapi ancaman atau krisis.

2. Usman khawatir hukuman mati digunakan semena-mena oleh pemerintah

Editorial Team

Tonton lebih seru di