Pengamat terorisme dari Institute For Security and Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi menilai, maraknya kasus penyerangan terhadap tokoh agama dan tempat ibadah belakangan ini adalah by design alias skenario.
"Saat ini kita memang sedang berada pada masa paling 'greget'. Fasisme agama dan fasisme negara cenderung menguat dalam waktu yang bersamaan. Mengapa saya katakan paling 'greget'? Karena ini zaman digital, informasi yang bersifat propaganda dan agitasi sangat sulit difilter. Teknologi terlibat secara luar biasa di sini," ujar Fahmi dalam keterangan tertulisnya kepada IDN Times, Rabu (21/2).
Menurut Fahmi, situasi tersebut terjadi berulang kali, bahkan sejak Indonesia merdeka. Situasi-situasi puncaknya dapat dilihat di antaranya seperti masa-masa menjelang dan setelah G 30 S, lalu pada masa-masa konsolidasi asas tunggal Pancasila di penghujung Orde Baru dan awal reformasi.
"Pelakunya? Ya itu-itu saja. Mereka menyebar, di kelompok-kelompok politik yang bahkan berhadap-hadapan. Yang satu mendorong menguatnya fasisme agama sebagai alat delegitimasi rezim, yang satu lagi mendorong fasisme negara sebagai solusi terhadap penguatan fasisme agama itu," kata dia.
Menurut Fahmi, target jaringan fasis tentu saja tidak jangka pendek. Ini adalah proyek jangka panjang yang ifrastrukturnya sudah disiapkan, bahkan sejak pemilu 2014 tuntas.
"Ini bukan jaringan teror. Ini jaringan fasis. Bahwa mereka melibatkan kelompok-kelompok ekstrem, itu mungkin saja. Namun perlu ditelaah lebih lanjut," ungkap dia.
Fahmi mengaggap, fasisme agama sedang menguat dan ditandai gejala empirisme dan ortodoksi dalam beragama. Ini ibarat rumput atau jerami kering yang siap dibakar sewaktu-waktu.
"Situasi saat ini adalah situasi yang problem hukum dan keamanan berkelindan dengan problem sosial ekonomi. Polri harus berhati-hati mengambil langkah," ujar dia.
Fahmi menilai, problem sosial ekonomi bukan domain Polri dan tentu saja tak dapat dikatakan menguasai persoalannya. Mereka tak akan sanggup mengelola situasi ini sendirian, namun melibatkan militer serta butuh kehati-hatian.
"Penting bagi Polri untuk mendesain pendekatan yang lebih dialogis, lentur, dan humanis agar tak kontraproduktif bagi upaya penegakan hukum dan keamanan yang harus mereka lakukan dalam kondisi apa pun," tutur dia.
Fahmi memprediksi, serangan-serangan terhadap rumah ibadah ataupun tokoh agama masih akan terus terjadi. "Akan terus terjadi sepanjang kita justru sibuk berdebat mana yang benar, apakah fasisme agama atau fasisme negara. Padahal apa pun bentuknya, fasisme selalu akan menjadi ancaman bagi demokrasi kita," ujar dia.
Polri telah memutuskan untuk melakukan pendekatan langsung ke tokoh-tokoh agama. Menurut Fahmi, pendekatan tersebut memang penting, namun perlu diingat, saat ini pelibatan pemuka agama secara sruktural saja tak cukup kuat.
"Perlu pelibatan yang lebih luas, lebih berwarna dan lebih berkualitas. Tak sekadar panggung-panggung seremonial saja," ujar dia.
Alasannya, kata Fahmi, saat ini kekuatan media sosial telah menjadi salah satu instrumen penting pembentuk persepsi masyarakat.
"Ya tunjukkan saja aksi konkret. Meningkatkan security awareness publik dan peningkatan sense of hazard pada personelnya di lapangan, juga berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan lainnya untuk pengembangan dialog dan pengelolaan problem sosial ekonomi yang tidak dikuasainya tadi," ujar Fahmi.