Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ketua Komisi X DPR dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Syaiful Huda (kiri) (www.instagram.com/@syaifulhooda)

Jakarta, IDN Times - Ketua Komisi X DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Syaiful Huda, sepakat dengan dorongan dari Presiden Joko "Jokowi" Widodo agar Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 100 persen di tiga provinsi dievaluasi. Namun, ia berharap bila opsi yang ditempuh yakni dengan menyetop PTM lantaran kenaikan kasus Omicron, jangan dilakukan serentak di semua sekolah.

Syaiful khawatir terhadap dampak dari learning loss yang dialami anak-anak ketika mereka kembali ke metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). 

Dorongan Jokowi agar PTM kembali dievaluasi seiring dengan kenaikan kasus harian COVID-19 varian Omicron. Berdasarkan data dari Satgas Penanganan COVID-19 per Selasa, 1 Februari 2022, kasus harian COVID-19 menembus angka 16.021. Tiga provinsi yang diminta Jokowi agar melakukan evaluasi PTM yakni DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. 

"Oke, kita sedang mengalami kenaikan Omicron. Tapi, titik komprominya jangan sampai mereka sama sekali tidak sekolah. Apa itu titik komprominya, paling tidak masih ada 50 persen siswa yang ikut PTM," ungkap Syaiful ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Rabu (2/2/2022). 

Kalau pun kebijakan PJJ harus ditempuh, hal itu harus dijadikan opsi terakhir. Ia menambahkan, kebijakan pembukaan atau penutupan sekolah seharusnya mengikuti situasi pandemik di daerah yang bersangkutan. 

"Bila kasus Omicronnya masih bisa ditoleransi karena tergolong rendah, PTM-nya tetap harus dilaksanakan sampai dengan 50 persen," kata dia. 

Syaiful menyebut anak-anak sudah kehilangan suasana sekolah nyaris selama dua tahun. Lagi pula metode PJJ, kata dia, hanya efektif bagi 30 persen siswa. 

"Sisanya, fakta di lapangan, mereka tidak sekolah karena berbagai faktor ya," tutur dia lagi. 

Apa dampak nyata yang dirasakan ketika metode sekolah berubah selama hampir dua tahun pandemik COVID-19?

1. Kemampuan akademik anak-anak menurun karena pandemik COVID-19

Ilustrasi siswa mengikuti Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Sekolah dengan prokes ketat (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Syaiful menjelaskan salah satu dampak yang terasa nyata dari learning loss saat pandemik COVID-19 yakni kemampuan akademik mengalami kemunduran. Ia mengatakan banyak anak yang tetap naik kelas, tetapi kualitas kemampuan akademik sesungguhnya tak memenuhi. 

"Seperti di tahun ajaran baru, kan banyak anak kita yang naik kelas. Dari yang duduk di kelas dua naik ke kelas tiga, semula di kelas tiga ke kelas empat. Tetapi, secara kualitas, meski dia naik kelas misalnya dari kelas empat ke lima, tetapi secara kemampuan mereka masih ada di kelas empat atau bahkan di kelas tiga. Mereka diberi pengecualian karena pandemik COVID-19," tutur Syaiful menjelaskan. 

"Bahkan, kemampuannya bisa dua tingkat di bawah karena orang tua tidak bisa menggantikan posisi guru. Situasinya lebih buruk bila siswa tak memiliki ponsel, pulsa, sinyal dan peralatan lainnya. Itu yang kami khawatirkan," kata dia. 

Oleh sebab itu, Komisi X sepakat dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada Januari 2022, agar PTM 100 persen harus dilaksanakan. Namun, dalam rapat kerja, Komisi X memberikan catatan bagi Kemendikbudristek ketika PTM dijalankan 100 persen. Kemendikbudristek, kata Syaiful, diminta untuk memimpin dan berinisiatif seandainya kasus COVID-19 kembali melonjak. 

"Saya kurang pas bila semuanya diserahkan kepada Satgas Penanganan COVID-19. Misalnya, di dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri disebut PTM bisa disetop sementara atau dibuat 50 persen, bila level PPKM di daerahnya lebih tinggi dari 1 dan 2. Saya berharap Kemendikbud yang justru lebih pro aktif membuat langkah mitigasi di daerah-daerah yang kasus Omicronnya mulai tinggi," tutur dia. 

Alih-alih dilakukan mitigasi, tiba-tiba Presiden Jokowi yang mengumumkan agar dilakukan evaluasi di DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Menurut Syaiful, yang seharusnya mengumumkan adalah Mendikbudristek Nadiem Makarim. 

"Saya melihatnya Kemendikbud terlihat pasif dan menyerahkan ke pemerintah pusat serta daerah, terkait perubahan status level PPKM," katanya. 

2. Penularan kasus Omicron mayoritas terjadi di luar sekolah

Editorial Team

Tonton lebih seru di