Jakarta, IDN Times - Publik mengernyitkan dahi ketika Deputi Perdana Menteri periode 1993-1998, Anwar Ibrahim, setuju untuk berkoalisi bersama dengan Mahathir Muhammad dalam pemilu di tahun 2018. Pasalnya, Anwar juga memiliki sejarah kelam ketika Mahathir masih berkuasa sebagai orang nomor satu di Negeri Jiran.
Di bawah kepemimpinan tangan besi Mahathir, Anwar dilengserkan dari kursinya sebagai Deputi PM pada tahun 1998. Menurut laman The Guardian edisi Sabtu (19/5), Anwar dilengserkan karena kerap mengkritik Mahathir yang sering mempraktikan tindakan nepotisme, di mana banyak kontrak proyek-proyek pemerintah justru jatuh ke teman-temannya sendiri.
Di bawah kepemimpinan Mahathir pula, Anwar harus mengecap rasa di balik jeruji besi. Ia divonis bersalah telah melakukan tindakan sodomi dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Namun, ia hanya menjalani hukuman selama enam tahun dan dibebaskan pada tahun 2004 lalu. Tetapi, yang lebih pedih, Mahathir memerintahkan agar Anwar gak diberi akses untuk bertemu dengan keluarga selama berada di penjara.
Nah, uniknya usai semua derita panjang itu, Anwar justru setuju ketika diajak berkoalisi oleh Mahathir pada Januari lalu. Itu semua dilakukan agar kelompok oposisi bisa menang melawan petahana Najib Razak.
Lalu, apakah rekonsiliasi mereka semata untuk mengalahkan Najib saja saat pemilu atau demi perbaikan untuk Negeri Jiran?