Apa Susahnya Membahas RUU PKS?

Jakarta, IDN Times - Dewan Perwakilan Rakyat sepakat menarik 16 Rancangan Undang-Undang dari Prolegnas prioritas 2020 di mana salah satunya adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan, alasan Komisi VIII sebagai pengusul mencabut RUU PKS, lantaran masih menunggu pengesahan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang ada kaitannya dengan hal penjatuhan sanksi.
Menanggapi hal tersebut, Spesialis Advokasi dan Kebijakan Publik Riska Carolina mengatakan, seharusnya RUU PKS tak perlu menunggu RUU KUHP disahkan. Sebab, menurutnya RUU PKS mengatur peran dan tugas lembaga negara, pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pencegahan kekerasan seksual.
“Pengaturan ini tidak terdapat dalam RUU KUHP dan tidak dapat diatur oleh KUHP karena materi muatan ini bukan merupakan tindak pidana. Mengingat pencegahan kekerasan seksual merupakan hal yang penting, maka pencegahan ini harus diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP yaitu RUU PKS,” kata Riska dalam webinar "Sulitnya DPR Membahas Penghapusan Kekerasan Seksual Secara Serius" oleh Kabar Sejuk, Senin (13/7).
1. Tidak adanya niat dan keinginan DPR untuk membahas RUU PKS
Riska menyayangkan RUU PKS dicabut dengan alasan pembahasan yang sulit. Ia membandingkan keinginan DPR mengesahkan RUU Omnibus Law yang lebih besar dari RUU PKS.
“Ngomongin kekerasan seksual tak mudah, sebab kita butuh komitmen pemerintah dan DPR bahwa kekerasan seksual ini sesuatu yang serius. Hingga saat ini belum ada kebijakan yang melindungi perempuan secara spesifik,” kata dia.
Riska juga telah memetakan tujuh kekerasan yang terjadi dan perlunya payung hukum: kekerasan gender, pendidikan seksualitas, layanan dan informasi kontrasepsi, kehamilan tidak direncanakan, seks yang berisiko, penghormatan HAM kelompok minoritas gender dan seksualitas, dan kerangka relasi.
Lebih lanjut, Riska menjelaskan ada 12 poin yang menjamin kepastian hukum dalam RUU PKS.
1. Mengatur perlunya dilakukan pendampingan secara medis ataupun psikologis kepada perempuan korban.
2. Ada pengaturan tata cara khusus melakukan proses Berita Acara Pemeriksaan terhadap perempuan korban.
3. Memberi hak korban atas informasi
4. Larangan bagi pihak mana pun mempublikasi perkara yang dialami korban tanpa persetujuan korban
5. Pengaturan mengenai wewenang penuntut umum untuk berkomunikasi dengan korban, keluarga korban, dan pendamping korban
6. Larangan sikap yang memojokkan korban
7. Penyediaan ruang pengadilan yang peka terhadap psikologis perempuan korban
8. Penyediaan ruang pemeriksaan khusus bagi perempuan korban atau yang terpisah dari tersangka dalam proses penyidikan hingga persidangan
9. Pemberian kesaksian perempuan korban melalui media audio visual
10. Mekanisme perlindungan bagi korban
11. Bantuan hukum dan pendampingan bagi korban, karena bantuan hukum dalam KUHP ditunjukkan bagi tersangka bukan korban
12. Mengatur mengenai hak korban