Jakarta, IDN Times - Penerapan UU baru mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tinggal menghitung waktu usai disahkan oleh DPR pada (17/9). Walau mendapat banyak penolakan namun pada faktanya pemerintah dan DPR satu suara menilai UU yang menjadi dasar bagi komisi antirasuah bekerja perlu segera direvisi.
Tujuannya disebut karena ingin memperkuat KPK. Kendati sejak awal proses pembahasan, KPK tak pernah dilibatkan baik oleh DPR atau pemerintah.
Apabila merinci sebanyak 36 halaman di UU baru tersebut, terdapat pasal yang diduga untuk menjegal penyidik senior Novel Baswedan. Poin itu terdapat di pasal 45A poin 1c. Di sana terdapat keterangan; "penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memenuhi persyaratan sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter."
Aturan baru di UU KPK itu tidak ada di ketentuan yang lama. Di pasal 45 UU nomor 30 tahun 2002 hanya menyebutkan dua hal. Pertama, penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kedua, penyidik yang dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.
Kejanggalan dimasukan aturan baru tersebut turut dirasakan oleh ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti. Ditanyakan secara khusus oleh IDN Times pada Kamis (19/9), ia mengaku kecewa aturan semacam itu malah kembali dimasukan.
"Aneh nih, sekarang kriteria (menjadi pegawai KPK) dimasukan harus sehat secara jasmani dan rohani. Padahal, justru civil society karena kita sudah punya UU Disabilitas, kami sebenarnya ingin menghilangkan aturan itu. Lha, ini malah masuk (ke dalam UU baru KPK). Justru, jadi pertanyaan ini mau menjegal siapa sih?," kata Bivitri ketika itu.
Wah, apa benar ya Novel ingin dijegal melalui aturan ini?