Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan usai pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (28/12/2023). (IDN Times/Dini Suciatiningrum).
Kasus bermulai ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan pada 8 Januari 2020 terhadap eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dan tujuh pihak lainnya. Usai tangkap tangan, KPK menetapkan empat tersangka, yakni Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, Harun Masiku, dan Saeful Bahri.
Harun Masiku dan Saeful Bahri merupakan tersangka pemberi suap. Sedangkan Wahyu dan Agustiani tersangka penerima suap.
Dalam konstruksi perkara, awal mula kasus terjadi ketika adik ipar Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Nazarudin Kiemas, yang telah terpilih sebagai anggota DPR meninggal dunia. Kemudian, KPU pada Agustus 2019 menetapkan Riezky Aprilia yang meraih suara terbanyak kedua untuk menggantikan Nazarudin.
Namun, Harun Masiku justru didorong untuk menngantikan Nazarudin. Padahal perolehan suara Harun hanya berada di posisi keenam dibandingkan caleg PDIP dari dapil yang sama.
Untuk mendorong Harun sebagai pengganti Nazarudin, Saeful Bahri yang merupakan kader PDIP menghubungi Agustiani untuk melakukan lobi. Agustiani merupakan mantan Komisioner Bawaslu.
Agustiani kemudian berkomunikasi dengan Wahyu Setiawan. Wahyu pun setuju dan meminta dana Rp900 juta.
Ada sejumlah uang yang diberikan Harun ke Wahyu pada Desember 2019. Uang itu diberikan melalui perantaraan orang lain.
Pada 7 Januari 2020, KPU melaksanakan rapat pleno dan menolak permohonan PDIP menetapkan Harun sebagai pengganti antar waktu (PAW) bagi Nazarudin. Meski begitu, Wahyu tetap mengupayakan Harun menjadi PAW.
Pada 8 Januari 2020, Wahyu meminta sebagian uang yang dijanjikan pada Agustiani. Kemudian, mereka tertangkap tangan KPK.