Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Times/Sukma Shakti

Jakarta, IDN Times - Hak untuk memilih saat Pilkada serentak yang digelar Rabu (27/6) gak hanya terbatas pada masyarakat umum. Tetapi, terpidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan dan tahanan masih dibolehkan untuk menggunakan hak pilihnya.

Menurut ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Dr. Mudzakir, hak untuk memilih dan dipilih merupakan Hak Asasi Manusia seseorang. Hal tersebut gak bisa direnggut karena ia sudah menjadi narapidana, kecuali hak politiknya dicabut oleh aparat penegak hukum.

"Prinsipnya, hak untuk memilih dan hak untuk dipilih adalah hak politik yang gak bisa direnggut. Kecuali hakim atau jaksa memiliki pertimbangan lain untuk mencabut hak politiknya," ujar Mudzakir yang dihubungi oleh IDN Times pada Selasa (26/6) melalui telepon.

Lalu, gimana dong prosedur bagi para napi ini untuk mencoblos dari dalam Lapas?

1. Tingkat kejahatan gak bisa menentukan apakah hak politik dicabut atau tidak

Youtube.com/AILA Indonesia Media

Lalu, apa pertimbangan majelis hakim mencabut hak politik seseorang? Menurut Mudzakir, masing-masing majelis hakim memiliki pertimbangan. Namun, tingkat kejahatan yang dilakukan oleh seseorang gak bisa menjadi pertimbangan khusus apakah penegak hukum bisa mencabut hak politiknya atau tidak. 

"Tergantung isi putusan (vonis). Mungkin saja kejahatannya gak terlalu berat bisa dicabut juga. Misalnya, dia curang pada pemilu, itu kan gak terlalu berat, tapi bisa saja dia dicabut hak pilih dan untuk dipilihnya," ujar Mudzakir.

Beberapa pejabat yang hak politiknya dicabut sebagian besar karena telah berbuat korupsi. Beberapa di antaranya adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Ketua DPR, Setya Novanto dan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.

2. Hak untuk dipilih dan memilih adalah bagian dari HAM

ANTARA FOTO/Anis Efizudin

Menurut Mudzakir, hak politik menjadi bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang gak bisa direnggut. Sebab, hal tersebut bisa menjadi bibit konflik saat penghitungan suara. 

"Intinya hak itu gak boleh dipangkas. Karena, nanti kalau terjadi selisih suara, satu suara pun sangat berharga. Memang kalau selisihnya dalam jumlah besar gak akan pengaruh banget, tapi kalau tipis, itu bisa jadi sengketa," kata dia.

Pencabutan hak politik paling cepat adalah dua tahun. Sedangkan maksimalnya adalah lima tahun.

"Setelah lima tahun, ya dia boleh untuk memilih dan dipilih lagi ke depannya," ujarnya menambahkan.

3. KPUD Kota Tangerang pastikan penghuni lapas dan rutan di Kota Tangerang mencoblos saat Pilkada

http://kpu-tangerangkota.go.id

Dihubungi terpisah, Ketua KPU Kota Tangerang Sanusi memastikan seluruh tahanan dan narapidana di Kota Tangerang akan menggunakan hak politiknya. Namun ini perlu diingat ya, guys, mereka bisa menggunakan hak pilih karena memang berdomisili dan memiliki KTP Elektronik yang dikeluarkan oleh Pemda yang bersangkutan.

"Iya betul, seluruh napi dan tahanan yang berada di Kota Tangerang akan memilih besok," kata Sanusi kepada IDN Times.

Ada empat Lapas di Kota Tangerang yang menyiapkan TPS bagi napi yakni Lapas Pemuda, Lapas Wanita, Lapas Kelas IA Kota Tangerang, dan Lapas Anak. Para napi, kata Sanusi, akan mencoblos di TPS yang disediakan di dalam lapas.

Sedangkan, bagi para penghuni rutan di setiap Polsek dan Polres, kata Sanusi, akan ada petugas KPPS terdekat yang akan mendatangi Polsek dan Polres yang berada di wilayahnya.

"Ini dengan asumsi, mereka sudah mengurus A5-nya atau pindah pilih, dari domisili KTP asal ke rutan tersebut," katanya lagi.

Dia memperkirakan terdapat lebih dari 300 narapidana dan tahanan yang menggunakan hak pilihnya pada Pilkada serentak 2018.

4. Bagaimana dengan narapinda yang berdomisili di daerah Pilkada tapi ditahan di Polda Metro Jaya?

IDN Times/Margith Damanik

Sementara, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes (Pol) Argo Yuwono mengatakan, Polda Metro Jaya gak menyediakan TPS bagi para tahanan di sana. Ia gak menampik bisa saja ada napi atau tahanan yang ditahan di rutan Polda Metro Jaya, namun seharusnya memiliki hak untuk memilih saat Pilkada serentak.

"Mungkin ada ya (napi atau tahanan yang berdomisili di daerah Pilkada). Tapi, di rutan Polda Metro Jaya belum pernah ada pencoblosan untuk Jawa Barat dan Tangerang atau daerah lainnya. Dulu, ketika Pilkada DKI, ada TPS di sini," kata Argo yang dihubungi melalui telepon.

Sementara, Ketua KPUD Tangerang, Sanusi mengatakan KPUD memfasilitas narapidana dan tahanan untuk mencoblos yang berada di distriknya saja. Kalau ada warganya yang ditahan di rutan di wilayah Jakarta atau wilayah lain yang gak ikut Pilkada, maka terpaksa napi tersebut gak bisa ikut mencoblos.

"Jadi misalnya ada orang mudik sedang di luar kota, gak bisa pulang, ya mereka gak bisa milih. Sama dengan tahanan di wilayah Bekasi, Depok, dan Jakarta misalnya. Karena ini distrik (cara kerjanya). Hanya Pilkada di Kota Tangerang, areanya Kota Tangerang, maka kami hanya fasilitasi yang ada di Kota Tangerang," katanya lagi.

Hal tersebut, kata Sanusi sama saja seperti ketika terjadi di Pilkada DKI tahun lalu. Kalau ada warga DKI Jakarta yang ditahan di lapas di Tangerang, maka ia gak bisa menggunakan hak pilihnya saat Pilkada DKI tersebut.

5. KPU harusnya memberi atensi lebih terhadap narapidana

IDN Times/Sukma Shakti

Melihat fakta ini, Mudzakir turut menyayangkan. Apalagi para narapidana gak bisa ikut memilih karena perkara teknis. Ini menandakan atensi petugas pemilu terhadap hak-hak para narapidana belum diakomodir.

Sesungguhnya, hal tersebut bisa dicarikan solusi. Misal, kata Mudzakir, antar KPUD saling berkoordinasi agar memungkinkan warga yang sedang gak berada di wilayahnya tetap bisa menggunakan hak pilih.

"Menurut saya atensi terhadap hal semacam itu kurang. Sama seperti orang Yogyakarta sakit yang harus dirawat di DKI Jakarta, itu atensinya kurang. Prinsipnya negara atau KPU harus memfasilitasi hak memilih dan hak dipilih. Kan bisa antar KPUD saling koordinasi," katanya.

Editorial Team