Jika pemilihan presiden tetap diikuti calon tunggal, maka capres tunggal tersebut akan melawan kotak kosong. Lantas apa yang akan terjadi jika kotak kosong yang menang?
Dalam undang-undang disebutkan, untuk bisa memenangi pemilu, paslon harus memperoleh suara minimal 50 persen + 1 suara yang tersebar di minimal 18 provinsi yang suara masing-masing minimal 20 persen.
Ketentuan itu merupakan syarat keterpilihan yang mutlak harus dipenuhi, bahkan jika hanya ada satu pasangan calon. Jika ketentuan ini tidak dapat terpenuhi oleh pasangan calon, maka penyelenggara pemilu harus melakukan pemungutan suara ulang untuk mencapai syarat tersebut.
Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan, sangat tidak baik kalau kotak kosong menang. Maka perlu ada pemilihan ulang tanpa menyertakan capres yang kalah tersebut.
"Secara demokrasi kan kedaulatan di tangan rakyat, rakyat yang berdaulat menjatuhkan pilihan ke kotak kosong, tentunya harus diulang dong, perlu ada lagi pendaftaran capres ulang. Tentu calon yang kalah dari kotak kosong ya jangan maju lagi," kata Emrus saat dihubungi IDN Times, Senin (12/3).
Namun, dia menilai, capres tunggal tidak baik dalam proses demokrasi. Sebab, ini menunjukkan legitimasi capres itu kurang dan harus ada peninjauan terhadap undang-undang.