Peta Penyebaran Virus Corona hingga Jumat (10/4). gisanddata.maps.arcgis.com/CSSE John Hopkins University
Salah satu penyebab sulitnya mengetahui jumlah kasus positif corona secara pasti adalah rendahnya tingkat pengetesan. Belum lagi prosesnya yang memakan waktu lama karena keterbatasan alat tes polymerase chain reaction (PCR) --metode tes COVID-19 yang dianjurkan WHO karena presisinya mencapai 99 persen-- meski sudah melibatkan 38 laboratorium dari seluruh penjuru Indonesia.
Yang bikin miris, berdasarkan data Worldometers, Indonesia tergolong sebagai negara dengan tingkat pengetesan virus corona terendah di dunia. Sampai 9 April 2020, datanya menunjukkan baru 14.354 orang yang sudah dites atau sekitar 52 orang per 1 juta warga. Sebagai negara dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta jiwa, termasuk yang paling banyak di dunia, angka tersebut tentu sangat ironis.
Angka di atas tidak jauh berbeda dengan klaim Yuri yang mengatakan bahwa pemerintah telah memeriksa 16.500 spesimen hingga Kamis (9/4) kemarin.
Untuk melihat tingkat pengetesan di Indonesia, mari kita bandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara.
- Vietnam : Total tes 110.124 (1.131/1 juta penduduk)
- Thailand: Total tes 71.860 (1.030/1 juta penduduk)
- Singapura: Total tes 65.000 (11.110/1 juta penduduk)
- Malaysia: Total tes 58.240 (1.799/1 juta penduduk)
- Filipina: Total tes 24.500 (224/1 juta penduduk)
- Brunei Darussalam: Total tes 8.845 (20.218/1 juta penduduk)
- Kamboja: Total tes 5.768 (345/1 juta penduduk)
- Laos: Total tes 781 (107/1 juta penduduk)
- Myanmar: Total tes 1.246 (23/1 juta penduduk)
Sebagai tambahan informasi:
- Korea Selatan: Total tes 477.304 (9.310/1 juta penduduk)
- Amerika Serikat: Total tes 2.172.976 (6.565/1 juta penduduk)
- Italia: Total tes 807.125 (13.349/1 juta penduduk)
- Jerman: Total tes 918.460 (10.962/1 juta penduduk)
- Iran: Total tes 211.136 (2.514/1 juta penduduk)
Di Asia Tenggara, Indonesia hanya berada satu tingkat di atas Myanmar, bahkan tidak lebih baik dari Laos dan Kamboja. Kuantitas tesnya sangat jauh tertinggal dari Korea Selatan, sebagai negara yang digadang-gadang berhasil mengatasi pandemik COVID-19.
Ironisnya, di tengah situasi seperti itu, Presiden Republik Indonesia Joko “Jokowi” Widodo justru menggarisbawahi posisi negara ini yang tidak tergolong 10 besar kasus COVID-19 terbanyak.
Berdasarkan data yang dihimpun John Hopkins University per 9 April 2020 pukul 02.20 WIB, sebaran terinfeksi virus corona di berbagai negara adalah sebagai berikut:
- Amerika Serikat: 404.352 kasus
- Spanyol: 146.690 kasus
- Italia: 139.422 kasus
- Prancis : 113.951 kasus
- Jerman: 110.483 kasus
- Tiongkok: 82.809 kasus
- Iran: 64.586 kasus
- Inggris: 61.471 kasus
- Turki: 38.226 kasus
- Belgia: 23.403 kasus
"Ini perlu disampaikan mengenai 10 negara dengan kasus tertinggi. Biar kita semua memiliki gambaran bahwa penyakit ini tidak hanya di Indonesia. Biar publik memiliki wawasan bahwa sekarang ini sudah 207 negara yang terdampak. Itu mungkin perlu atau setiap hari, setiap dua hari harus ada yang menyampaikan. Tetapi sekali lagi itu bukan dari kita,” kata Jokowi ketika membuka rapat kabinet pada Senin, 6 April 2020 kemarin.
Jokowi mengabaikan dua fakta, yaitu: jumlah kasus positif selaras dengan angka pengetesan menggunakan metode PCR yang sangat minim. Kemudian, tingkat kematian (case fatality rate) Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia. Per Rabu (8/4) tingkat kematiannya mencapai 8,1 persen, hampir dua kali lipat dari akumulasi global yaitu 5,9 persen.
Di antara dampak pengetesan yang sedikit dan berlarut-larut untuk mendapatkan hasilnya adalah kasus kematian yang tidak diketahui penyebabnya. Bisa jadi lebih buruk lagi, sebagaimana sudah banyak terjadi, konfirmasi positif COVID-19 baru diketahui setelah yang bersangkutan meninggal dunia.
Sesudah prosesi pemakaman petugas menyemprotkan disinfektan di sekitar area. (IDN Times/Candra Irawan)
Selama ini, pemerintah baru menggalakkan uji permulaan (screening test) melalui tes cepat (rapid test) dengan darah sebagai spesimennya. Sayangnya, presisi tes ini hanya 70 persen dengan kemungkinan false negative dan false positive.
Artinya, bila hasil tes menunjukkan positif, maka pasien harus dites ulang dengan metode PCR. Bila hasil menunjukkan negatif, maka pasien harus menunggu beberapa hari lagi untuk menjalani tes ulang. Hingga hari pengetesan kedua tiba, pasien harus harus mengisolasikan diri (self-isolation) di kediamannya.
Akhirnya, simpang siur data tes virus corona menyebabkan perbedaan data antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah ihwal kasus positif hingga kasus kematian. Yuri pun tidak bisa menampik fakta bahwa data yang dia pegang belum tentu sama dengan data Pemerintah Daerah.
“Begitu dia (daerah) melakukan pemeriksaan hasilnya dikirim ke pusat. Pusat rekap dengan data besar disertai identitas lengkap. Nah, pada saat tracing dia (daerah) akan menemukan kasus yang dicurigai, mereka mengatakan ODP, PDP. Data ini yang kemudian simpang siur sehingga datanya tidak sama,” kata Yuri kepada IDN Times, Rabu (1/4).
Alumni kedokteran Universitas Airlangga itu menambahkan, “Misal angka kematian, data kita berbasis pada hasil konfirmasi positif (berdasarkan tes PCR). Kalau kemudian pasien meninggal, ini jadi satu pasien meninggal. Tapi di daerah ada orang yang meninggal, hasil lab-nya belum keluar, akhirnya jadi ragu-ragu karena apa. Paling gampang meninggal karena COVID-19. Jadi di daerah meninggal dua, di pusat meninggal satu.”
Kabar baiknya, alat tes PCR yang dipesan dari Roche Swiss sudah tiba di Indonesia. Berdasarkan keterangan Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, rencananya alat ini mulai beroperasi sejak Senin (13/4) mendatang.
Kalau semuanya berjalan normal, kapasitas alat ini mampu menguji 9 ribu hingga 10 ribu spesimen setiap hari. Jika semula tes PCR memakan waktu 1-2 hari, alat ini diklaim bisa memangkas waktunya hingga 2,5 jam. Sehingga, ditargetkan 300 ribu spesimen bisa diuji setiap bulannya.
Berdasarkan pengalaman di negara lain, kenaikan jumlah yang dites akan diikuti jumlah terinfeksi positif. Jika infrastruktur dan penanganan kesehatannya tidak memadai juga, maka besar kemungkinan jumlah yang meninggal dunia membengkak pula.
Ini beban berat yang harus dijalani Yayan, Yasan dan kawan-kawannya. Mereka, para petugas penggali kuburan ini layak disebut sebagai garda terdepan (frontliners), karena menanggung risiko terpapar jika tidak disiplin memenuhi protap pemulasaraan jenazah.
Tidak heran, mereka berharap badai pandemik segera berlalu. Dengan gaji setara upah minimum regional (UMR), mereka dipaksa bekerja lembur hampir setiap hari. Belum lagi tekanan batin yang ia rasakan kadang tidak setara dengan jerih payahnya. Betapa tidak, Yayan kerap mendapat stigma buruk dari tetangganya setelah menghabiskan waktu seharian di TPU Tegal Alur.
“Tetangga kita mungkin ada rasa takut, sebagai orang awam terhadap virus ini, kita juga takut. Cuma ini pekerjaan kita,” ungkap dia.
“Untuk sekarang saya hanya minta didoakan terus sama seluruh rakyat Indonesia, mudah-mudahan tukang gali kubur seperti kami sehat terus. Jadi kami bisa kasih yang terbaik buat orang yang sudah meninggal dunia,” demikian sebait harap dan doa dari Yayan.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Cukup dengan berdiam diri di rumah, maka kita sudah membantu tugas Yayan dan kawan-kawan untuk tidak menggali kubur lebih banyak.
Laporan gabungan: Vanny El Rahman, Uni Lubis, Chandra Irawan, dan Gregorius Aryodamar