Bangkit dari Abu: Kisah Para Perempuan Penyintas Bom Terorisme

Jakarta, IDN Times - Selesai kuliah, Pipit bersama temannya mendatangi sebuah minimarket di Kampung Melayu untuk memesan tiket kereta. Pipit hendak pulang kampung. Posisi minimarket tepat di depan halte Kampung Melayu di Jakarta. Walau Pipit melihat banyak polisi di dekat minimarket, tapi ia tidak terlalu memikirkannya. Polisi mungkin saja datang untuk berjaga, pikir dia.
Tidak lama setelah ia keluar dari minimarket, terjadilah ledakan bom yang sangat dahsyat. Posisi Pipit waktu itu baru saja keluar dari minimarket dan akan menyeberang ke terminal. Tiba-tiba semuanya gelap, Pipit hanya mendengar suara orang-orang yang berteriak, “ada bom, ada bom.”
“Waktu itu kondisinya saya mau nyebrang ke terminal dari minimarket, tahu-tahu sudah ada ledakan. Itu sekitar jam setengah 9 malam. Tiba-tiba semuanya gelap tertutup asap. Bau gosong. Yang saya pikirkan cuma nyelametin diri,” kata Pipit.
Pipit adalah salah satu korban ledakan bom Kampung Melayu yang terjadi pada 24 Mei 2017. Saat itu ia sangat panik. Tubuhnya lemas. Ia hanya bisa berlari tanpa arah hingga terjatuh. Beruntung, Pipit jatuh di dekat seorang polisi yang kemudian membantunya
“Saya diteriakin polisinya untuk bangun. Saya dibantu dicarikan kendaraan untuk dibawa ke rumah sakit. Sampai ke rumah sakit itu, darah saya ngucur terus di angkot,” kata dia.
Setibanya di rumah sakit, kondisi mental dan fisik Pipit hancur. Kondisinya kritis.
“Karena belum lama saya habis ditinggal ayah. Terus, susternya bilang kalau saya gak boleh tidur. Karena jantung saya lemah, kondisi sudah kritis. Kalau saya tidur, takutnya saya gak bisa bangun lagi,” ungkap Pipit.
Perjuangan Pipit untuk pulih
Pipit menghabiskan waktu 10 hari di rumah sakit. Pascakeluar dari rumah sakit, ia diwajibkan menjalani rawat jalan setiap minggu. Lantaran tidak punya uang untuk membayar kontrakan, Pipit memutuskan untuk pulang kampung dan minta dirujuk ke rumah sakit daerah.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kemudian memberikan rekomendasi untuk pengobatan dan rujukan rumah sakit. Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit di Tegal, Pipit disarankan untuk menjalani operasi saraf di Surabaya, namun ia takut.
“Sekitar 2018 atau 2019, sempet ke Surabaya untuk menentukan jadwal operasi. Tapi saya takut operasi, takut dibongkar-bongkar lagi, akhirnya sampai sekarang belum dioperasi juga,” kata dia.
Sejak kejadian tersebut, selama setahun, tangan kanan Pipit sama sekali tidak bisa digerakkan. Tangannya hanya bisa mengempit dengan badannya. Luka yang menyerang otot, tulang, dan saraf itu ternyata sangat mengganggu. Sebab, tangan kanannya kini tidak bisa diangkat ke atas.
Tanpa bantuan atau ditopang oleh tangan kiri, tangan kanan Pipit hanya bisa diangkat sekitar 15 derajat. Itupun tidak bisa lama. Tidak jarang Pipit merasa ngilu jika memaksa mengangkat tangan.
“Setahun itu saya benar-benar gak bisa ngapa-ngapain. Keseharian saya dibantu sama orang tua. Waktu itu saya juga memutuskan cuti kuliah 2 tahun,” tutur dia.
“Mama akhirnya kerja lagi. Jadi waktu itu saya tinggal di rumah nenek,” katanya, mengungkapkan bagaimana ibunya harus menjadi tulang punggung keluarga sembari merawat anaknya yang sakit.
Pipit juga kehilangan kepercayaan diri karena hanya bisa beraktivitas dengan satu tangan, seolah ia telah kehilangan masa depannya.
“Saya malu sama kondisi saya. Saya sekarang cacat, gak kayak teman-teman. Selama itu saya ngurung diri di rumah,” kata dia.
Rasa minder Pipit akhirnya hilang setelah dia bergabung dengan organisasi difabel di Brebes, Jawa Tengah. Saat itu, Pipit sadar bahwa dirinya jauh lebih beruntung daripada anggota organisasi lainnya.
“Allah masih kasih saya tangan, sedangkan mereka kehilangan tangan. Allah hanya sedikit mengambil fungsi tangan saya, sedangkan mereka gak punya tangan. Sejak itu saya mulai bersyukur dan memutuskan untuk bergaul lagi,” kata dia.
Di satu sesi rawat jalan, Pipit sempat bertanya kepada dokter tentang pen yang berada di tubuhnya. Dia masih berharap satu waktu pen itu bisa dicopot. Tapi dokter tidak menyarankan untuk mencabut pen, karena berfungsi sebagai penyangga. Akhirnya sampai sekarang pen itu masih terpasang.
Keterangan dokter itu menyayat hatinya. Sebab Pipit masih berharap, suatu waktu dia dapat hidup kembali seperti dulu. Kendati begitu, lama-lama dia akhirnya bisa berdamai dengan diri sendiri. Ia memilih legawa dengan segala keputusan dokter dan tentunya takdir Tuhan.
Sembari menjalani terapi pemulihan fungsi tangan, Pipit mulai mencari pekerjaan. Dia juga mulai mengumpulkan niat untuk meneruskan kuliah. Pada 2019, tatkala kondisi tangannya mulai membaik, Pipit memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Setahun berselang, Pipit juga mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan ekspedisi.
Pipit pun menikah. Kini dia telah diberkahi momongan. Pipit lantas memutuskan untuk cuti kuliah lagi. Dia ingin fokus membesarkan anaknya yang lahir dengan kondisi berat badan rendah. Di samping itu, karena sempat sakit, Pipit akhirnya memutuskan untuk resign dari pekerjaannya. Kini, sehari-harinya diisi sebagai ibu rumah tangga.
Di kondisinya yang serba terbatas, Pipit bersyukur kepada Tuhan karena diberikan suami yang menerima kekurangannya.
“Kenapa mas gak nyari yang lain saja? Saya ini sudah cacat lho, mas,” kata Pipit, mengulangi dialog kepada suaminya sebelum janji suci diucapkan.
“Tapi ya Alhamdulillah, suami saya menerima segala kekurangan saya,” sambung dia, sembari melepas tawa kecil, seolah tersipu malu.
Di samping itu, Pipit juga bersyukur karena dia tidak menyimpan dendam atas kejadian kelamnya. Alih-alih menyalahkan nasib, Pipit melihat seluruh rangkaian hidupnya sebagai suratan takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan
“Kalau dipikir-pikir, semua ini ya qodarullah. Belum tentu yang dipikirkan orang buruk, itu hal buruk bagi saya. Mungkin ini yang terbaik bagi saya. Alhamdulillah juga saya sama sekali gak punya dendam dengan pelaku terorisme,” ungkap Pipit.