Wartini, janda korban bom Kedutaan Besar Australia, berdiri di depan rumahnya (IDN Times/Vanny El Rahman)
Wartini tengah asyik ngobrol dengan anak perempuan pertamanya, Sari Novriatin Putri. Mereka duduk di dekat pintu. Sari rebahan sambil memainkan gawainya.
“Mpok, ada yang nyariin nih,” kata seorang perempuan, yang ternyata adik kandung Wartini.
Wartini tinggal di kawasan permukiman padat di Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat. Berjarak 5 menit dari Pasar Gembrong. Kendala klasik dari pemukiman padat adalah nomor rumah yang tidak urut, sehingga sulit untuk menemukan kediamannya, sekalipun Wartini telah memberikan alamat lengkap.
Rumahnya berseberangan dengan terusan kali Sentiong. Terdiri dari 3 lantai, yang mana lantai 1 dimanfaatkan sebagai ruangan kumpul keluarga dan lantai 2 serta 3 digunakan sebagai tempat istirahat. Jangan bayangkan rumah 3 lantai seperti di kawasan elite. Sebab, setiap lantai yang dihuni Wartini dan keluarganya hanya seluas 12 meter.
Wartini adalah janda dari Syahromi, seorang satpam yang menjadi korban bom Kedutaan Besar Australia pada 9 September 2004. Meski Syahromi berhasil selamat dari kejadian tersebut, bahkan dia sempat menyelamatkan korban lainnya, rupanya Tuhan menjemput Syahromi dua tahun kemudian. Syahromi meninggal pada 2006, meninggalkan Wartini yang waktu itu sedang mengandung anak ketiganya.
“Bapak sempat dirawat di rumah sakit 2 minggu sebelum meninggal. Bapak sempat dilarikan ke ICU RS Cipto Mangunkusumo. Tapi karena ICU ramai, akhirnya bapak dirujuk ke RS Abdi Waluyo. Waktu dirujuk itu kondisi bapak udah gak sadar. Sabtu-Minggu (sempat dirawat) di ICU RS Abdi Waluyo, terus tanggal 19 November (2006) bapak udah gak ada,” kata Wartini.
Berdasarkan keterangan dokter, meskipun luka di badan Syahromi tidak terlalu parah, tapi rumah siput di telinga kirinya hancur. Syahromi harus dirawat di RS MMC selama satu minggu setelah kejadian.
Nestapa Syahromi tidak menggugurkan kewajibannya sebagai kepala keluarga. Begitu keluar dari rumah sakit, dia kembali bekerja di tempat lamanya. Tentu saja kondisi Syahromi tidak sesehat sebelumnya. Dia harus rutin berobat jalan. Sesekali saat ngilu menyerang telinga, tidak jarang Syahromi harus menjalani rawat inap.
“Selama 2 tahun (sejak kedian sampai sebelum meninggal) saya ngurusin bapak keluar-masuk rumah sakit. Kadang dirawat Sabtu-Minggu gitu, kadang dirawat sampai satu minggu,” ungkap Wartini.
“Sejak bapak kena bom, saya sudah gak jualan lagi, karena ngurusin bapak,” sambung dia.
Semula, pasangan suami-istri itu tidak memusingkan soal biaya pengobatan, dengan harapan bahwa Syahromi akan diberikan fasilitas kesehatan sampai sembuh. Namun, harapan itu pupus tatkala rumah sakit mengabarkan bahwa pengobatan Syahromi sudah tidak lagi ditanggung negara.
“Berobat jalan selama 3 bulan (sejak kejadian) dibiayain pemerintah. Ke sananya, pas bapak kambuh sakit, mau berobat ke RS MMC, ternyata dikabarin harus biaya sendiri. Di situ saya bingung,” kata Wartini.
Wartini dan Syahromi tidak mengenyam pendidikan tinggi. Alhasil, mereka sama sekali tidak mengerti bagaimana cara memperjuangkan hak-hak korban. Mereka juga tidak memahami sejauh mana kewajiban negara mengayomi masyarakat ekonomi lemah. Yang mereka pahami adalah kalau dapat bantuan Alhamdulillah, kalau tidak dapat ya berarti belum rezeki.
Syukurnya, masalah itu cepat terselesaikan karena Kedutaan Besar Australia mau menanggung biaya pengobatan. Tidak seperti pemerintah yang seolah lepas tangan begitu saja.
Potret tempat tinggal Wartini (IDN Times/Vanny El Rahman)
Setelah dua tahun, rupanya Tuhan lebih mencintai Syahromi. Wartini dirundung kalut tatkala memikirkan perasaan anak-anaknya. Sari kehilangan sosok ayah di saat yang paling dia butuhkan. Lebih miris lagi, anak ketiganya harus dibesarkan tanpa kehadiran ayahnya.
“Waktu itu anak pertama saya pas kelas 3 SMK, pas mau ujian, bapaknya malah gak ada. Itu juga lagi butuh-butuhnya uang. Makanya waktu itu saya benar-benar marah sama teroris-teroris itu,” ungkap Wartini.
Kedutaan Australia bersedia menanggung biaya sekolah anak-anaknya. Bahkan hingga perguruan tinggi. Untuk ke sekian kalinya, bantuan ini bukan datang dari negara. Dan lagi-lagi, tidak terpikirkan dalam benak Wartini untuk menagih apapun dari pemerintah.
Hidup terus berlanjut. Wartini sadar bahwa dia tidak bisa menggantungkan nasib anak-anaknya dari belas kasih kedutaan, masyarakat, apalagi pemerintah. Sebagai perempuan tua dengan keterbatasan kemampuan dan tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memumpuni, satu-satunya pilihan pekerjaan bagi Wartini adalah berjualan.
Wartini memilih untuk berjualan nasi bungkus dengan lauk yang matang, seperti jamur atau kepala ayam. Setiap bungkusnya dibanderol dari harga Rp5 ribuan.
“Penghasilannya ya gak tentu, kadang bisa Rp50 ribu sehari. Ya bisalah untuk transportasi anak-anak ke sekolah Rp25 ribu per hari. Kalau ditanya cukup atau gak, ya dicukup-cukupin aja,” kata dia.
Wartini menyambung, “kalau sebelum COVID, lumayan banyak yang beli. Tapi pas COVID begini, banyak orang yang gak kerja, akhirnya pada buka usaha, jualan, yang ada makin sedikit yang beli.”
Sejak ditinggal Syahromi, Wartini memilih pindah dari kontrakan karena tidak memiliki uang. Dia memutuskan untuk tinggal di rumahnya sekarang, yang merupakan warisan dari ibunya. Tidak besar memang. Tapi cukup untuk melindungi dari terik matahari atau rintik hujan.
Setiap bulannya, di luar uang makan, minum, dan jajan anak-anak, Wartini sedikitnya harus menyisakan uang Rp300 ribu untuk tagihan listrik dan air.
“Waktu itu sempat dapat subsidi, jadinya bayar listrik Rp200 ribu per bulan. Terus subsidi gak dapat lagi, jadi bayarannya naik. Uangnya ya dari hasil jualan. Kalau gak cukup, ya pokoknya dicukup-cukupin,” ungkap dia, yang secara tidak sadar ternyata mampu melewati fase-fase tersulit dalam hidupnya.