Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
57B3FEE5-CEA4-4B73-B7EB-D85C2A9A9D49.jpeg
Setya Novanto setelah bebas dari Lapas Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (16/8/2025). (Dok. Istimewa)

Intinya sih...

  • Setya Novanto bebas dari Lapas Sukamiskin setelah pemangkasan hukuman melalui peninjauan kembali (PK) yang disetujui oleh MA.

  • Pembebasan bersyarat Novanto menyebabkan kekecewaan bagi mantan penyidik senior KPK Praswad Nugraha dan koalisi masyarakat sipil yang konsisten dalam gerakan pemberantasan korupsi.

  • Pembebasan Setya Novanto menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya efek jera terhadap para pelaku korupsi di Indonesia, serta dampak negatifnya terhadap masa depan Indonesia.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Eks Penyidik KPK, Praswad Nugraha masih tak menyangka, Setya Novanto telah bebas dari Lapas Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (16/8/2025).

Dia masih teringat drama-drama Novanto, salah satunya ketika terpidana kasus korupsi e-KTP itu dilarikan ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau setelah mobil yang dia tumpangi mengalami kecelakaan tunggal di daerah Permata Hijau, Jakarta Barat pada 16 November 2017.

Saat itu, Praswad diperintahkan membawa paksa Novanto ke KPK usai tiga kali mangkir pemeriksaan pada 15 November 2017.

“Terus akhirnya saya dengan segala kondisi situasi malam itu, saya terpaksa harus tidur melintang di ruangan beliau dirawat, karena takutnya ada drama-drama lain juga. Saat itu pimpinan KPK memerintahkan harus tidak boleh lagi lepas, malam ini harus dibawa pulang ke KPK,” kata Praswad dalam program ‘Ngobrol Seru’ by IDN Times, Senin (18/8/2025).

Pada 16 November, KPK akhirnya menahan Setya Novanto sebagai tersangka. Namun, karena sakit, Setya dibantarkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) keesokan harinya.

Novanto baru menjalani pemeriksaan perdana selaku tersangka dan tahanan kasus dugaan korupsi e-KTP di Gedung KPK, usai dijemput dari RSCM pada 20 November 2017.

“Jadi situasi kondisi yang sebegitu dramatisnya yang pernah kami alami itu ketika kemudian melihat hari ini keluar pembebasan bersyarat karena peninjauan kembali (PK) disetujui (MA), ada pemangkasan hukuman. Ini jadi kado yang sangat menyakitkan di Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-80,” ujar Praswad.

“Bagaimana mungkin seorang Setya Novanto yang kerugian keuangan negaranya sampai Rp2,3 triliun dari 5,9 triliun anggaran e-KTP itu tiba-tiba kita bisa melihat yang bersangkutan keluar begitu saja dengan skema-skema pembahasan bersyarat, PK, dan lain-lain,” imbuhnya.

Berikut wawancara khusus IDN Times dengan mantan penyidik senior KPK Praswad Nugraha.

Eks penyidik KPK Praswad Nugraha (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Sebagai penyidik KPK saat itu, bagaimana melihat Setya Novanto bebas?

Semacam sedih, kami para penyidik-penyidik yang pernah menangkap, melakukan pengejaran terhadap yang bersangkutan, itu jadi seperti: apa lagi yang harus kami lakukan untuk kemudian bisa memberantas korupsi di negeri ini?

Karena apapun yang sudah kami lakukan, bahkan mempertaruhkan keselamatan, nyawa, dan lain-lain itu seperti sia-sia ketika kemudian di level eksekusi tiba-tiba ada pemangkasan hukuman, ada pembebasan bersyarat dan lain-lain.

Bahkan, hak politiknya juga dikurangi. Jadi 2029 mungkin beliau sudah bisa maju lagi ke kancah politik nasional, bahkan mungkin bisa jadi pemimpin Republik Indonesia ini. Itu yang membuat kita jadi seperti paradoks sekali, dengan harus apa lagi kita memperbaiki Indonesia ini?

Karena orang-orang yang justru masuk dalam klasifikasi koruptor big fish, koruptor kelas kakap sudah bersiap-siap mengambil ancang-ancang semua di tahun 2029, mungkin bahkan beliau bisa punya kesempatan untuk jadi pemimpin kita semua.

Jadi sudah sampai ke krisis hukum, krisis moral, krisis etika, krisis multidimensional, harapan kita untuk Indonesia bisa lebih baik itu semakin jauh.

Saat menjaga Setya Novanto di Rumah Sakit Medika Permata Hijau, apa yang dilakukan hingga bisa membawanya ke KPK?

Jadi saya sempat menjaga beliau, saat itu alasannya dirawat satu malam, sampai pagi. Karena malam itu kan ada insiden keselakaan itu katanya. Sudah diperban, namun terbukti bahwa itu tidak beralasan dan harus segera dibawa ke rutan KPK.

Tapi luka-lukanya itu benar?

Saya tidak masuk ke situ karena ada dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang kita bawa, ada dokter KPK juga, karena penyidik tidak masuk ke dalam penelaahan medis. Jadi kita bawa dari teman-teman dokter KPK dan IDI saat itu. Dan kalau tidak salah, bahkan dokter yang merawat yang bersangkutan juga kena pasal menghalalangi penyidikan.

Bebas bersyaratnya Setya Novanto apakah ekses dari putusan MA yang mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 terhadap Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan?

Situasinya semacam ada satu gerakan yang terstruktur untuk menggeser tindak pidana korupsi menjadi tindak pidana biasa. Dari masuk klasifikasi extraordinary crime, tindak pidana luar biasa, berbarengan dengan korupsi, narkotika, dan terorisme. Jadi dia tidak mendapatkan kesempatan atau keringanan, remisi, dan lain-lain.

Jadi tindak pidana biasa sehingga bisa pembebasan bersyarat, bisa remisi, dan segala macam fasilitas-fasilitas keringanan yang ada di rutan. Ini salah satu pukulan keras untuk gerakan pemberantadan korupsi.

Karena ketika dia sudah digeser dari extraordinary crime menjadi kejahatan biasa, dari klasifikasi kejahatan luar biasanya diturunkan maka seolah-olah orang-orang yang korupsi bisa kembali normal dan kemudian mirisnya itu bahkan bisa mencalonkan diri kembali menjadi pimpinan, menjadi kepala daerah, mungkin bisa mencalonkan diri menjadi presiden.

Jadi hal-hal seperti ini yang membuat kita jadi, saya pikir tidak perlu terlalu cerdas untuk menganalisa bahwa seorang koruptor kemudian bisa mencalonkan diri dan terpilih. Ini kan jadi ketakutan-ketakutan kita, bagaimana kemudian masa depan Indonesia? Itu pertanyaan besarnya. Mau dibawa ke mana arahnya bangsa ini? Kalau kemudian para koruptor mendapatkan kestimewaan-kestimewaan seperti ini di negara kita?

Kalau berdasarkan PP 99 tahun 2012 itu, koruptor bisa dapat bebas bersyarat salah satunya kalau menjadi justice collaborator. Tapi sekarang kan gak pakai itu, bagaimana pendapatnya?

Dulu kan (PP 99) ada syaratnya kan ada justice collaborator, dia kooperatif, dia membuka perkara korupsi yang lebih besar. Maka kemudian negara wajib untuk menghargai, upaya yang bersangkutan setelah dinyatakan bersalah, tapi dia ada upaya untuk ikut bergabung bersama-sama untuk membongkar korupsi yang lebih besar, itu clear kita.

Bahwa dia kemudian berhak untuk mendapatkan bebasan bersyarat, dikurangi hukuman, itu clear lah. Tapi kalau misalnya dia pelaku utama, pelaku kelas kakap apa lagi ya, kasusnya, kasus perkaranya big fish, corruption, ini yang membuat kita sangat-sangat menyedihkan kenyataan hari ini.

Bagaimana kemudian kita, yang harus kita garisbawahi, pemberantasan korupsi kan tidak bisa kita selesaikan melalui pidato yang berapi-api atau dogmatis janji-janji, basmi koruptor, segala macam dan lain-lain.

Tapi harus dilaksanakan dengan kondisi-kondisi konkret di rutan yang tidak boleh diistimewakan, pembebasan bersyarat yang harusnya tidak boleh dikeluarkan, lalu kemudian keputusan-putusan PK ataupun putusan MA yang cenderung meringankan bagi para koruptor, ini yang membuat kita semakin berat langkahnya.

Dari putusan MA itu, akhirnya sidang TPP Ditjenpas memutuskan bahwa Setnov bisa dibebaskan dengan pertimbangan ini berkelakuan baik, aktif ikut pembinaan, kemudian menunjukkan penurunan risiko dari tidak pidana korupsi yang dilakukan. (2:20) Melihat poin-poin pertimbangan ini bagaimana anda melihatnya?

Saya pikir itu kan pertimbangan yang formalistik saja, berkelakuan baik dan benchmarknya sangat subjektif. Lagi pula kalau kita melihat narapidana-narapidana korupsi kan rata-rata memang sudah berumur dan berasal dari kalangan yang well-educated.

Jadi tidak mungkin dia melakukan perkelahian misalnya, atau melakukan kerusakan di dalam, misalnya umurnya rata-rata sudah cukup berumur dan juga memang berasal dari kalangan yang berpendidikan, pejabat.

Jadi saya pikir itu jadi satu hal yang formalistik, seolah-olah memenuhi syarat. Padahal sebenarnya memang sudah didesain sedemikian rupa agar mereka, para tahanan koruptor, bisa mendapatkan PB. Ini yang menghias hari kemerdekaan kita di HUT ke-80 ini menjadi sangat menyakitkan bagi teman-teman koalisi masyarakat sipil yang konsisten digerakan pemberantasan korupsi.

Dari pembebasan Novanto ini, apa eksesnya ke depan ketika banyak sekali mungkin upaya-upaya hukum yang akhirnya juga ditumpulkan. Mengingat, sebelum peristiwa ini juga ada amnesti, terhadap Hasto Kristianto?

Konsekuensi logisnya adalah hilangnya efek jera karena orang jadi tidak khawatir dan tidak takut lagi melakukan pemberantasan korupsi. Karena kalau ketangkep, dia bisa ajuin PK, dia bisa minta PB, dia bisa minta remisi, peringanan ini itu dan lain-lain didiskon.

Jadi orang-orang ya sudah, kalau misalnya kita melakukan korupsi ya kita lakukan saja nanti kalau ketangkep nanti kita urus di pengadilan, kita urus di rutan, dan lain-lain.

Ini hal-hal seperti ini yang membuat kita menghilangnya efek jera dari para pelaku korupsi, ini sangat-sangat berbahaya.

Artinya hilang rasa takut mereka untuk melakukan perbuatan korupsi. Bisa bayangin kalau orang sudah hilang rasa takutnya untuk melakukan tindak pidana ya maka akan menjamur dan merajalela, semakin merajalela perbuatan korupsi di Indonesia.

Ini adalah masa depan kita. Kalau kita biarkan seperti ini, maka masa depannya Indonesia akan merajalela perbuatan-perbuatan korupsi di Indonesia. Itu adalah konsekuensi logis.

Bukan kemudian kita seperti Indonesia gelap, bukan. Tapi konsekuensi logis hari ini adalah besok. Jadi besok itu akan terjadi akibat dari hari ini.

Kalau hari ini kita permisif, oke-oke saja. Besok teman-teman koruptor yang sudah keluar dari tahanan bisa melenggang, bisa daftar pimpinan negara, bisa daftar pimpinan daerah, dan sebagainya. Pada akhirnya semua orang akan berpikir, oke, aman, santai-santai saja.

Ini kan bertabrakan dengan statement Pak Presiden Prabowo terkait dengan komitmennya untuk membrantas koruptor di Indonesia, bagaimana anda melihatnya?

Saya pikir kalau kita putus asa tidak boleh juga. Jadi kita harus tetap optimistis, tapi yang tetap harus kita dorong adalah bahwa Presiden Prabowo selaku panglima tertinggi pemerintahan korupsi. Ingat ya, panglima tertinggi pemerintahan korupsi di Indonesia itu bukan KPK, bukan Kejaksaan, bukan Polisi. Tapi Presiden. Itu sumpah jabatannya.

Jadi Presiden harus menggunakan segenap kekuatan dan segenap sumber daya yang ada di seluruh Indonesia, seluruh lembaga negara untuk menciptakan kondisi yang menyakitkan bagi para koruptor, bukan justru malah menyakitkan bagi kita. Rasa keadilan masyarakat yang tersakiti yang melihat koruptor bisa lenggang, bisa bebas bersarat, bisa santai-santai.

Justru kalau misalnya ada PP, atau ada peraturan atau ada undang-undang yang kemudian bisa menghilangkan rasa efek jera dari para koruptor itu harus diubah. Dan itu adalah tindakan-tindakan yang strategis yang harus dilakukan oleh Presiden.

Tapi di level strategis, ketika para penyidik-penyidik kami-kami di lapangan sudah melakukan penangkapan, Presiden mengatur di atasnya, jangan sampai koruptor-koruptor ini bisa lepas setelah ditangkap, setelah ditahan, setelah melewati proses penyidikan, penuntutan, tiba-tiba di ujung dia bisa lepas dengan cara melakukan upaya hukum, seolah-olah melakukan tindakan-tindakan secara prosedural sudah memenuhi apa yang disaratkan oleh hukum, berkelakuan baik, dll tapi pada intinya dia bisa mengakali bahwa akhirnya dia bisa dibebaskan dan kembali ke kancah politik nasional.

Terlepas dari itu semua, apakah anda melihat ada skandal dalam putusan Setnov ini oleh MA?

Sayangnya hal seperti itu harus dibuktikan, dan ini yang kita juga tidak bisa. Hakim memiliki hak untuk melakukan pertimbangannya, jadi tidak boleh selaku penegak hukum, pastinya harus menjalankan hukum dan tunduk pada putusan hakim.

Ini yang kita, masyarakat, diposisikan pada posisi yang seperti buah simalakama, tunduk pada putusan hakim. Rasa keadilan kita, masyarakat tersakiti, tidak tunduk, tidak boleh, karena itu melenggar hukum.

Karena hukum mengatakan seperti itu, pengadilan itu pada ujungnya adalah putusan hakim yang harus kita patuhi.

Situasi-situasi di kondisi seperti ini sebenarnya bisa diatur melalui regulasi, misalnya peraturan Mahkamah Agung, ada PP, ada Kepres, ada undang-undang yang mengatur misalnya dilarang melakukan tahanan korupsi adalah tahanan kejahatan luar biasa, tidak boleh diberikan PB, tidak boleh diajukan. Justru malah kemarin Pak Prabowo sendiri yang memberikan mengandung gerakan amnesti pada koruptor.

Ini yang membuat situasi semakin jadi rumit, bagaimana sebenarnya peta pemerintahan korupsi di Indonesia. Jadi kita juga semakin bertanya-tanya, sebenarnya mau dibawa ke arah mana peta jalan pemberantasan korupsi di Indonesia?

Sebagai pihak yang pernah terlibat langsung dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam kasus korupsi, bagaimana melihat penegakan hukum di Indonesia saat ini? Dan mungkin ada pesan anda kepada pemerintah, kepada aparat penegak hukum, dan mungkin ke masyarakat?

Saya pikir efek jera ini tidak boleh dihilangkan, Itu yang paling penting. Seperti misalnya kita bercontoh di luar negeri atau di Cina, misalnya disiapkan peti jenazah dan lain-lain, itu adalah pesan dari pemerintah kepada seluruh para pelaku tindak pidana kejahatan korupsi, itu bahwa jangan coba-coba untuk melakukan korupsi.

Nah, ketika efek jera ini kemudian dihilangkan, rasa takut itu jadi hilang, maka masa depan Indonesia akan sangat gelap sekali terkait dengan pemerintahan korupsi, dan jangan harap kalau pemerintah berharap akan ada pembangunan, akan ada kesejahteraan, akan ada kesejahteraan masyarakat yang merata, itu hanya omong kosong ketika kemudian tindak bidana korupsi merajalela.

Karena nggak mungkin bisa, apapun program pemerintah pasti akan gagal ketika dikorupsi. Pasti.

Editorial Team