Oleh Dyah A. Pitaloka
YOGYAKARTA, Indonesia —Sore itu Jumali sedang beristirahat di jok becaknya. Sudah dua penumpang diantarnya sejak pagi hingga lepas siang. Sambil istirahat di lahan parkir tepi jalan, Jumali mengisi daya becaknya dengan menggunakan listrik PLN yang bersumber dari kantor petugas keamanan sebuah hotel tempat dia menunggu penumpang, di kawasan Malioboro Yogyakarta.
Ya, becaknya menggunakan aki kering sebagai tenaga penggerak motor. Ada panel surya, serta charger listrik sebagai sumber litrik untuk menyalakan aki kering itu.
Rutinitas itu sudah dijalani sekitar tiga bulan terakhir. Jumali adalah satu di antara sembilan pengayuh becak listrik yang mangkal di sekitar Malioboro. Bapak dua anak berusia 50 tahun itu Nampak menikmati becak listrik berstatus sewa dari SMK Piri 1 Yogyakarta. “Becaknya kuat nanjak, wisawatan juga suka. Mengendarainya juga mudah, tidak khawatir dikejar polisi seperti becak motor,” kata Jumali.
Becak listriknya sekilas tak berbeda dengan becak kayuh umumnya di Yogyakarta. Slebor-nya bulat, atapnya bisa dilipat dan jok penumpang di bagian depan. Namun jika dicermati, terdapat panel solar cell di bagian atap becak dengan bentuk bujur sangkar. Becak itu juga memiliki lubang kunci kontak layaknya motor di bagian bawah kemudi. Terdapat speedo meter sebagai alat ukur kecepatan, lengkap dengan tombol start untuk menyalakan mesin Brusless Motor yang menggerakkan roda yang terpasang di roda belakang.
“Saya memang tidak suka becak motor, khawatir dikejar polisi. Kalau becak ini aman. Ada gambarnya keraton,” kata Jumali sambil menunjukkan stiker bergambar Keraton Yogyakarta dan Tugu Putih ikon Yogyakarta. Di slebor yang menutup bagian atas dua roda depan itu juga terdapat stiker nama hotel tempat ia mangkal, serta SMK Piri 1 Yogyakarta. Ada pula stiker Kementrian Ristek di dashboard belakang becak.
Ia mengaku suka dengan becak listrik. Suaranya tidak berisik, bisa dikayuh jika mendung atau aki belum diisi dengan listrik, tidak menghasilkan polusi udara, tidak butuh BBM dan penumpangnya pun suka. “Suaranya tidak berisik. Jadi bisa ngobrol lancar dengan penumpangnya,” katanya. Penumpang Jumali memang rata-rata wisatawan, terutama yang menginap di hotel tempat dia memarkir becak.
Setiap satu minggu sekali ia mengayuh becaknya ke SMK 1 Piri untuk membayar sewa sebesar Rp 50 ribu serta untuk melakukan cek berkala atas becaknya. Ia merasa tidak keberatan dengan sewa sebesar itu. Ia berharap sewa becaknya bisa berlangsung lama. “Tidak tahu sampai kapan sewanya, katanya kalau bisa merawat bisa lama. Ya kalau bisa selamanya sewa nya,” ujar Jumali.