Begini Penjelasan KPU soal Fenomena #2019GantiPresiden

Jakarta, IDN Times - Belakangan gerakan tanda pagar (tagar) #2019GantiPresiden mewarnai berbagai konten di media sosial. Gerakan ini dianggap politis yang berafiliasi untuk mendukung pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Sementara, bagi pendukung pasangan capres Joko 'Jokowi' Widodo-Ma'ruf Amin, gerakan ini dianggap sebagai gerakan politik hitam jelang Pilpres 2019. Bahkan, gerakan ini bukan lagi bagian dari demokrasi, tapi sudah melanggar undang-undang.
Beberapa peristiwa pun muncul akibat adanya gerakan #2019GantiPresiden. Pertama, peristiwa yang dialami Ustazah Neno Warisman saat hendak menghadiri deklarasi gerakan ini di Riau beberapa hari lalu. Dia tertahan di bandara karena diprotes massa dan akhirnya dipulangkan Polda Riau dengan alasan keamanan.
Kemudian peristiwa kedua saat deklarasi #2019GantiPresiden yang dihadiri politikus sekaligus politikus Partai Gerindra Ahmad Dhani di Surabaya, Jawa Timur, pada Minggu (26/8).
Bagaimana tanggapan dari Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Wahyu Setiawan terkait gerakan tagar tersebut?
1.Fenomena #2019GantiPresiden sama saja gerakan #Jokowi2Periode
Wahyu mengatakan fenomena tagar #2019GantiPresiden sama saja dengan #Jokowi2Periode. Hanya saja, dalam ekspresi politik memang dilindungi konstitusi dan harus mengikuti prosedur yang ada, sebagaimana yang berlaku.
“Misalnya untuk melakukan kegiatan tentu saja harus ada izin. Kepada siapa? Kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini, Polri. Tetapi dengan ekspresi politik penyampaian sikap politik yang dimanifestasikan dengan #2019GantiPresiden atau #Jokowi2Periode ini,” ujar dia di Gedung KPU, Jakarta, Senin(27/8).
"Pandangan kami sah-sah saja, sepanjang ekspresi itu dilakuan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku," dia melanjutkan.
2.Demokrasi soal kebebasan menyampaikan pendapat
Indonesia seagai negara demokrasi tentu harus memberikan kebebasan berpendapat bagi masyarakatnya. Namun, Wahyu menggarisbawahi, perlu adanya ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam penyampaian pendapat tersebut.
“Kan demokrasi salah satu prasyarat nya adalah adanya kebebasan menyampaikan pendapat. Sepanjang penyampaian pendapat itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, dalam pandangan kami tidak menjadi persoalan,” ujar dia.
3.Momentum untuk mendewasakan diri secara politik
Adanya fenomena ini, kata Wahyu, juga bisa dimanfaatkan sebagai ajang untuk mendewasakan diri secara politik. Sehingga masyarakat bisa terbiasa dengan perbedaan politik, agar secara damai dan sewajarnya.
“Ini pandangan kami, karena kan juga tidak mungkin kebebasan ekspresi, kebebasan berpendapat dalam berpolitik, kebebasan menyampaikan pendapat itu dibatasi sedemikian rupa,” kata dia.
4.Zaman semakin berubah dan terbuka
Di era seperti sekarang ini, kata Wahyu, zaman semakin berubah dan terbuka. Semua pihak bisa menyampaikan pandangan politik dan ekspresi politik, serta sikap-sikap politik bisa disampaikan dengan cara yang dewasa. Namun juga harus tetap mematuhi hukum yang berlaku.
“Kita tidak bisa berpura-pura tidak ada perbedaan politik yang sangat tajam. Faktanya memang begitu. Yang terpenting adalah bagaimana perbedaan politik, perbedaan sikap politik dan pandangan politik itu dilaksanakan dalam suasana yang drama, demokratis, dan patuh pada hukum. Intinya itu menurut saya,” jelas dia.
Berbeda pandangan politik boleh, tapi kepala tetap dingin. Setuju gak guys?