BANDUNG, Indonesia —Berdiri sejak 1924, kemegahan Gedung Sate tak pupus oleh waktu. Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat ini tetap berdiri kokoh di Jalan Diponegoro Kota Bandung.
Keanggunan dan keindahan bangunan yang memadukan arsitektur Nusantara-Barat ini tetap terjaga hingga kini. Tak salah jika, arsitek Belanda, D.Ruhl menjuluki Gedung Sate dengan sebutan The Most Beautiful Building in Indonesia dalam bukunya Bandoeng en haar Hoogvlakte yang terbit 1952.
Ada sejumlah rahasia di balik “awet muda”nya gedung rancangan J.Gerber ini. Rahasia itu akan mudah terungkap dengan mendatangi Museum Gedung Sate. Museum yang berlokasi di basement Gedung Sate ini baru dibuka pada Desember 2017 lalu.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sengaja membuka museum ini lantaran tingginya animo masyarakat terhadap Gedung Sate. Pemprov Jabar sekaligus ingin mengedukasi warga tentang gedung yang memiliki luas bangunan hampir 11 ribu meter persegi ini.
Memasuki museum, pengunjung seolah diajak mundur ke abad 19. Dimulai pada 1810, ketika Bupati Bandung ke-6 RA Wiranatakusumah mengeluarkan kebijakan membangun sebuah ibukota, yang kemudian dilanjutkan dengan membangun kawasan pemerintahan. Gedung yang pertama dibangun diberi nama Gouvernements Bedrijven (GB), yang kini dikenal dengan nama Gedung Sate.
Informasi sejarah berdirinya Kota Bandung hingga dibangunnya Gedung Sate ditampilkan melalui gambar dan teks yang disusun secara runut dari masa ke masa. Tampilannya cukup menarik, bahkan dilengkapi dengan layar monitor mini yang memudahkan pengunjung mendapat informasi lebih lengkap.
Masuk lebih dalam lagi, pengunjung akan berada di ruang pamer utama yang lebih luas. Suasana terasa modern dan hi-tech karena beragam informasi tentang Gedung Sate ditampilkan secara digital. Terdapat layar LED berukuran besar yang menayangkan video mapping tahapan pembangunan Gedung Sate. Informasi itu dilengkapi dengan replika mini Gedung Sate yang berada di depannya. Replika itu dibuat persis sama dengan yang asli, baik bentuk, denah, dan ukuran, hanya dibuat dalam skala yang lebih kecil. Replika ini juga bisa terbelah, sehingga pengunjung bisa melihat bagian dalamnya.
“Kalau kita belah, persis banget seperti ini dengan skala yang kita tentukan. Ini bisa persis karena Gedung Sate kita scan. Kalau Gedung Sate rubuh, kita bisa bangun kembali persis seperti semula karena kita sudah scan,” kata Tim Penggagas dan Pengelola Museum Gedung Sate, Aziz Zulficar Aly Yusca saat ditemui Rappler di Museum Gedung Sate, Jalan Diponegoro Kota Bandung, beberapa waktu lalu.
Hasil citra pemindaian 3 dimensi Gedung Sate juga bisa dilihat melalui layar monitor di sisi yang lain. Sementara di bagian lainnya, terdapat sebuah interactive display glass yang akan menyajikan informasi berbagai jenis ornamen yang menghiasi Gedung Sate, saat layar disentuh.
Di salah satu dinding ruang pamer, dipajang sebuah peta rencana komplek pusat pemerintahan di Bandung yang disalin dari sebuah arsip di Leiden Belanda. Dari peta itu bisa diketahui, pemerintah Hindia Belanda awalnya hendak membangun sebuah kawasan pemerintahan yang memanjang hingga ke Simpang Dago. Rencananya akan dibangun sebanyak 14 gedung pemerintahan. Tapi karena krisis ekonomi di Eropa pada 1930, baru tiga gedung yang selesai dibangun, yakni Gedung Sate, Kantor Pusat Pos, Telegraf dan Telepon, serta perpustakaan.
Jangan kaget jika melihat ada bagian dinding museum yang dijebol hingga terlihat batu, pasir, dan bahan bangunan lainnya. Hal itu sengaja dilakukan untuk mengungkap rahasia kekokohan bangunan bersejarah ini. Dari situ juga terungkap rahasia yang menjadikan Gedung Sate tahan gempa.
“Kenapa ini dibongkar? Kita menemukan sebuah ruangan besar yang ditutup, kurang lebih 400 meter persegi luasnya. Kita penasaran, apakah ini ruangan kosongkah? Ruangan ini enggak ada pintu sama sekali. Ternyata suatu bangunan dari batu semen, dan lain-lainnya yang di dalamnya (diisi) semacam tanah liat dan pasir untuk penahan keseimbangan gedung dari guncangan gempa,” kata Azis.
Selain itu, dipamerkan pula potongan struktur beton bertulang, ornamen berupa kaca hias yang mempercantik Gedung Sate, serta lampu prisma dari Glassgow Inggris. Lampu yang dipasang di atap Gedung Sate ini berfungsi menyinari ruangan saat energi listrik belum ada di zaman itu.
Memang tak dipungkiri, informasi yang ditampilkan di museum ini lebih mengarah pada arsitektur Gedung Sate dan pernak-perniknya. Hal itu, menurut Azis, sesuai dengan tujuan dibangunnya Museum Gedung Sate sebagai tempat studi arsitektur dunia. “Tujuannya ingin menjadi pusat studinya arsitektur dunia,” ungkap Azis.
Meski demikian, sejarah yang terkait dengan keberadaan Gedung Sate juga turut dipamerkan. Seperti, kisah tujuh pemuda yang tewas dalam pertempuran saat mempertahankan Gedung Sate, profil Martinus Putuhena, orang Indonesia yang ikut merancang Gedung Sate, serta profil Gubernur Jawa Barat dari masa ke masa. Semuanya ditampilkan secara interactive panel sehingga menarik, bahkan untuk anak-anak.
Materi sejarah dan arsitektur memang dirasa cukup berat bagi masyarakat umum, namun dengan bantuan teknologi digital, informasi yang disampaikan bisa dipahami oleh berbagai kalangan. Museum Gedung Sate dirasa berbeda dengan museum pada umumnya yang terasa membosankan dan kaku.
Berikut ini beberapa fasilitas hi-tech di Museum Gedung Sate yang menarik dicoba: