Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Staf khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Antonius Benny Susetyo (Romo Benny). (dok. BPIP)
Staf khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Antonius Benny Susetyo (Romo Benny). (dok. BPIP)

Jakarta, IDN Times - Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo mendorong internalisasi Pancasila dapat dilakukan lewat kebijakan publik berupa peraturan-peraturan perundang-undangan.

Hal itu diungkapkan dalam acara Workshop DPRD Kota Bandar Lampung dengan tema Pendidikan Ideologi Pancasila dan Wawasan Kebangsaan bagi Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Bandar Lampung, di Hotel Ciputra Jakarta, Jumat (3/6/2022) kemarin. 

"Negara kita adalah negara majemuk. Negara macam kita sangat sulit ditemukan. Kita harus bersyukur punya Pancasila, di mana bangsa Indonesia memiliki komunitas imajiner, merasa memiliki Indonesia walau tidak mengunjungi, tetap merasa menjadi orang Indonesia," ungkap Benny. 

1. Pancasila sebagai dasar berpikir, bertindak, dan hidup

Staf khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Antonius Benny Susetyo (Romo Benny). (dok. BPIP)

Selain itu, Benny meneruskan dengan mengutip pernyataan Soekarno mengenai Indonesia. 

"Negara Indonesia bukan milik satu golongan, tetapi milik bangsa Indonesia. Itulah Indonesia, bukan milik satu golongan, agama, suku bangsa, tetapi milik Sabang sampai Merauke. Itulah nation-state. Soekarno membangun negara yang didirikan atas semua lapisan masyarakat," jelas Benny. 

Pakar komunikasi politik ini juga menyerukan bahwa kebijakan publik yang dibuat badan legislatif dapat menjadi tools untuk internalisasi Pancasila. 

"Para anggota dewan, sebagai pemegang kuasa atas pembuatan regulasi, dapat membumikan Pancasila lewat kebijakan-kebijakan publik yang mewakili nilai-nilai Pancasila; Pancasila sebagai dasar berpikir, bertindak, dan hidup. Ini adalah yang saya minta kepada para anggota dewan," kata Benny. 

"Ideologi Pancasila itu cita-cita dan keyakinan seluruh rakyat. Inilah ideologi kita, kalau membuat kebijakan harus ada rasa Pancasila. Pancasila menjadi ideologi kerja. Rumusan harus dari nilai-nilai Pancasila," tambahnya. 

2. Kurangnya implementasi pada sila ke-5 di Indonesia

ilustrasi Garuda Pancasila (IDN Times/Abraham Herdyanto)

Pancasila sudah seharusnya dihayati (living) dan menjadi dasar etika, pemikiran, dan rasa bangsa Indonesia (working). Tetapi, dalam kehidupan di Indonesia, Benny melihat ketimpangan sosial yakni kurangnya implementasi pada sila ke-5 mengenai keadilan sosial.

"Masalah kita sila kelima, sila keadilan sosial, karena dominasi. Kekuatan kapital menguasai para elit politik kita. Terjadi sentralisasi satu tangan. Modal dimiliki satu tangan, dan ini menguasai semua sektor. Inilah tantangan kita," tegas Benny.

Melihat hal itu, Benny memberikan solusi kepada para peserta mengenai pembumian Pancasila. 

"Kebijakan publik dibarengi dengan dialog dan dan menggunakan konten-konten media. Mari kita ajarkan nilai-nilai Pancasila dalam keluarga dan pendidikan. Mari rangkul para tokoh-tokoh agama dan masyarakat, dan mari ajak anak muda untuk memberikan konten-konten media yang positif. Hal ini semua dapat dilakukan dengan penetapan kebijakan publik yang mendorong hal-hal tersebut," jelasnya.

3. Ada 3 ancaman terhadap keselamatan Pancasila

Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya di Jakarta Timur ( ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha)

Dalam kaitannya dengan menyadari posisi bangsa Indonesia, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Profesor Frans Magnis mengungkapkan 3 ancaman terhadap Pancasila, yaitu:

1. Adanya penganut ideologi-ideologi eksklusif sempit yang mau menggantikan Pancasila dengan ideologi mereka, suatu ideologi agamis.

2. Pancasila jangan sampai dibajak oleh elite politik untuk melindungi hak istimewanya

3. Pancasila dianggap omongan orang-orang di atas saja, tanpa relevansi pada kesejahteraan dan keselamatan orang kecil 

"Kalau Pancasila mau diselamatkan, tiga ancaman ini harus ditanggapi," tegas Magnis.

kemudian, Magnis menyatakan hal yang harus dilakukan yaitu mewujudkan keadilan sosial. Menurutnya, perpecahan bangsa yang paling berbahaya adalah perpecahan vertikal.

"50 persen bangsa kita belum betul-betul sejahtera, dan 10 persen bangsa kita masih hidup dalam kemiskinan absolut. Kalau mereka mendapat kesan bahwa keindonesiaan, pembangunan, kemajuan hanya demi kepentingan yang di 'atas', Indonesia berada dalam masalah besar," jelas Magnis.

Editorial Team