IDN Times/Gregorius Aryodamar P
Sejarah lain mencatat boneka ondel-ondel dianggap sebagai maskot Betawi dan diduga sudah ada sejak ribuan tahun lalu, mulanya ada karena dipengaruhi agama Hindu-Jawa.
Dari muasalnya yang berakar dari agama Hindu, ondel-ondel diduga gambaran dari Dewa Brahma, Visnu, Siwa dan istri-istri mereka yang dibuat serta dipersembahkan sebagai hadiah saat orang Betawi berkunjung ke daerah lain.
Catatan sejarah tentang ondel-ondel ini adalah versi dari buku Jakarta Membangun (1998) karya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, DKI Jakarta H Basri Rochadi.
Pendapat berbeda dikemukakan dalam disertasi Mita Purbasari Wahidiyat berjudul Ondel-Ondel Sebagai Ruang Negosiasi Kultural Masyarakat Betawi (2019). Disebutkan bahwa istilah lain ondel-ondel bernama Barongan.
Barongan dibuat saat masyarakat Betawi Pinggir masih bergelut di sektor agraris. Namun seiring perjalanan waktu, manakala sektor industri dan jasa hiburan memasuki ranah Jakarta, maka pada 1970-an Ali Sadikin, Gubernur Jakarta saat itu, mencanangkan ondel-ondel sebagai ikon Jakarta (Samantha, 2013). Barongan dibuat berpasangan laki dan perempuan (Saputra, 2009:60).
Tidak ada yang pernah tahu pasti kapan boneka raksasa ini muncul dalam kehidupan masyarakat Betawi. Namun diduga Barongan sudah ada sejak abad ke-17 di Banten.
Hal ini dapat dilacak melalui tulisan W. Fruin Mees dalam buku Geschiedenis van Java, ed II, yang menyebutkan seorang pedagang Belanda pada 1605 melihat sebuah iring-iringan mengantarkan Pangeran Jayakarta Wijaya Krama merayakan upacara sunatan Raja Banten, Abdul Mafakhir, yang waktu itu berusia 10 tahun.
Iring-iringan tersebut terdiri dari 300 penjaga istana, 300 wanita membawa banyak hadiah berharga seperti emas, uang dan kain sutra, dan sepasang boneka berbentuk raksasa (1920:64-66). Boneka besar itu dianggap perwujudan danyang desa, penolak malapetaka.
Menilik balik sejarah yang masih mendatangkan pro kontra tentang
peristiwa pendirian kembali komunitas Betawi setelah penghancuran Batavia oleh Jan Pieter Zoon Coen, disebutkan salah satu kelompok orang yang didatangkan ke Batavia adalah orang Bali.
Heuken dalam Historical Sites of Jakarta yang dikutip Jo dalam artikel “Batavia Kota Budak”, 2017, menyatakan orang-orang Bali ini ditempatkan sebagai budak untuk tenaga kerja membangun Batavia pasca-penaklukan Jayakarta. Sejak itu, banyak orang Bali yang hidup menetap dan berkembang di Batavia.
Kemiripan rupa barongan Betawi dengan barong Bali, besar kemungkinan mendapat pengaruh dari budaya Hindu Bali. Barongan berawal muncul pada saat masyarakat Betawi kuno masih percaya pada keyakinan, bahwa segala sesuatu yang besar memiliki kekuatan
tak terbatas.
Barongan merupakan artefak budaya Betawi Pinggir--masyarakat Betawi yang mendapatkan pengaruh kebudayaan Tiongkok dan Sunda, dan tidak diakui keberadaannya di Betawi Tengah--
masyarakat Betawi dengan pengaruh kebudayaan Islam dari Arab dan Melayu, pada saat itu (Lissandhi, 2010).
Hal ini disebabkan karena berkaitan dengan keyakinan bahwa Barongan bukan sekadar boneka raksasa, tetapi ada unsur magis di dalamnya.