IDN Times/Gregorius Aryodamar P
Dalam kesempatan itu, Anies menjelaskan masalah utama pendidikan berada pada guru. Menurutnya, mahasiswa yang berprestasi enggan menjadi guru dan memilih profesi lain.
"Padahal sebenarnya mereka ini mau menjadi guru, yang tidak mau adalah menjadi guru seumur hidup. (Maka) kami tawarkan mereka insentif nonmaterial. Kami tidak pernah menawari mereka rupiah, karena mereka pasti akan membandingkannya dengan di kota. Kami tawarkan apakah mereka mau punya bekas yang akan terus diingat seumur hidup oleh anak-anak di pedalaman ini. Sesuatu yang mulia harus diturunkan dengan sesuatu yang rasional,” kata Anies.
Anies mengatakan, ada dua pendekatan ketika melakukan aktivitas sosial, yakni program dan gerakan. Sifat program adalah pelakunya hanya terbatas pada mereka yang terlibat di dalamnya, sedangkan gerakan lebih melibatkan sebanyak mungkin masyarakat.
“Hampir semua kegiatan kita bersifat program sehingga orang-orang yang berada di luar program hanya akan menjadi penonton. Republik ini tidak dibangun dengan program, tapi dengan gerakan. Misalnya, saat awal merdeka, ada 95 persen penduduk Indonesia yang buta huruf. Pemerintah lalu membuat gerakan untuk memberantas buta huruf dengan mengajak masyarakat yang bisa membaca untuk mengajar mereka yang buta huruf. Bung Karno tahun 1948 mengajak masyarakat yang melek huruf di alun-alun Yogyakarta untuk mengajar," ucap Anies.
Pendiri Indonesia Mengajar itu menegaskan, gerakan kolaborasi perlu didorong agar mahasiswa atau kelompok manapun terpancing dan ikut memikirkan dunia pendidikan.
“Indonesia Mengajar menawarkan pengalaman baru yang akan didapat oleh mereka yang terlibat. Bukan menceritakan adanya suatu masalah untuk diselesaikan, melainkan apa yang mereka dapatkan jika berpartisipasi dalam gerakan ini," ujar dia.