Jakarta, IDN Times - Proses ekshumasi atau pembongkaran makam dan autopsi ulang terhadap jenazah Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J dilakukan pada hari ini, Rabu (27/7/2022). Autopsi ulang itu melibatkan tujuh dokter forensik dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI).
Satu di antaranya merupakan dokter forensik yang sehari-hari bertugas di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Ekshumasi dan autopsi ulang ini dilakukan sesuai permintaan keluarga Brigadir J di Jambi. Mereka menolak hasil autopsi pertama yang dilakukan pada 8 Juli 2022 lalu di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.
Guru Besar Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Indonesia (UI) Herkutanto mengatakan, autopsi ulang yang berjarak 20 hari dari autopsi pertama tetap bisa memberikan petunjuk baru mengenai penyebab tewasnya Brigadir J. Asal, kata Herkutanto, jenazah telah diawetkan dengan menggunakan formalin.
"Ini adalah keuntungan besar bila jenazah sudah diberikan formalin. Adanya pemberian formalin tadi akan mempreservasi jaringan (di jenazah) sehingga luka-lukanya masih bisa terdeteksi," ungkap Herkutanto kepada media, Selasa 26 Juli 2022 di Jakarta.
Ia menambahkan, proses autopsi ulang bakal menggunakan mekanisme yang sama seperti autopsi pertama. "Hanya dokter forensik akan meneliti kembali apa saja yang sudah dilakukan pada proses autopsi pertama. Dokter forensik tinggal melanjutkan dan menambahkan sesuatu (informasi)," kata dia.
Lalu, apa konsekuensi hukumnya bila hasil autopsi ulang berbeda dengan autopsi pertama yang dilakukan oleh dokter forensik di RS Polri Kramat Jati?