Tahukah kamu apa yang lebih menyebalkan daripada pertanyaan "Kapan kawin?"
"Kapan punya anak?"
Kalau pertanyaan pertama masih bisa ada campur tangan manusia, pertanyaan kedua buat saya betul-betul otoritas Tuhan — dan mau ditanya setiap jam juga enggak akan berubah kalau Tuhan belum mengiyakan.
Saya yang baru menikah setahun saja benci sekali dengan pertanyaan itu, bagaimana dengan yang sudah lama namun belum dikaruniai anak? I hate the question so much, I always retaliate with the nastiest answer everytime someone asks me that.
"Tanya aja sama Tuhan. Sana Tante ketemu Tuhan aja dulu, ya"
"Emangnya Tante mau bayarin?"
"Perut saya bukan urusan Tante"
Atau saya hanya melengos pergi dan tidak kembali. Mama saya sering marah karena bilang saya tidak sopan, tapi nampaknya orang-orang "tua" ini butuh diajari bahwa apa yang mereka tanyakan itu tidak sopan sama sekali, bahwa ada batasan antara "perhatian" dan "mengganggu privasi", bahkan menyakiti.
Kalau begitu saja sudah menyebalkan, kamu bisa bayangkan, kan, respon orang-orang kalau ada yang bilang sedang menunda memiliki anak? Heboh. Seakan-akan sang perempuan mengaku kalau dia sedang selingkuh dengan suami orang atau hobi makan orang.
"Kenapa? Rezeki Tuhan jangan ditunda!"
"Jangan begitu, nanti ketulah loh!"
Dan segala macam petuah lainnya.
Buat saya, urusan mau kapan mencoba memiliki anak itu harusnya jadi hak absolut pasangan yang tidak boleh dikomentari. Setiap pasangan punya alasan masing-masing mengenai kapan mereka mau mencoba memiliki anak: kesiapan mental, finansial, atau memang mau menikmati dulu masa-masa awal menikah. Dan kamu, atau siapapun, tidak berhak mengomentarinya atau memberi nasihat hanya berdasarkan pengalaman atau pemahamanmu.
Saya sendiri merasa butuh menunda karena masalah kesehatan. Tidak adil buat seorang anak untuk lahir dengan masalah kesehatan yang sebenarnya bisa dicegah dengan hal sesederhana vaksin. Tapi, tante-tante nyinyir itu tidak akan peduli kalau kamu butuh waktu untuk melakukannya. Memangnya mereka mau bantu kalau kamu atau bayimu terkena HPV, Rubella, atau sisa radiasi kemoterapi? Paling cuma kirim Whatsapp isi doa yang mereka copy-paste dari grup sebelah.
Belum lagi masalah finansial. Banyak yang bilang kalau kesiapan finansial akan datang sendirinya. Saya percaya pada "rezeki Tuhan untuk anak", tapi tidak ada yang salah dengan orang tua yang ingin persiapan terbaik bagi calon bayinya. Kalau tagihan kartu kredit masih menumpuk dan masih tidak bisa mengontrol nafsu belanja, apa iya harus memaksakan seorang anak untuk nyemplung ke masalah orangtuanya? Apakah salah jika ada pasangan yang butuh waktu membenahi diri (dan rekening) dulu? Apa salah kalau orangtua ingin yang terbaik buat calon anaknya kelak?
Kesiapan mental juga penting. "Ah, kalau nanti lahir juga siap!" katanya. Saya tidak setuju. Memangnya kamu pikir kenapa banyak sekali domestic abuse di kalangan pasangan muda? Ya karena belum siap. Ada yang belum selesai dengan dirinya, tiba-tiba punya anak dan akhirnya menyalahkan anak itu atas mimpi-mimpinya yang tak terwujud. Ada yang belum selesai membenahi hubungan suami-istri karena belum cukup waktu saling mengenal, lalu karena langsung punya anak, mereka tidak pernah sempat mengurus hubungan antara mereka sendiri. Ada yang belum selesai dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai agama, keterbukaan atas seksualitas anak, jalur pendidikan, dan lain-lain.
Intinya, mau menunda atau tidak, itu pilihanmu. Take your time if you need it.
Saya percaya kita dan Tuhan punya timing-nya masing-masing, dan tidak ada gunanya memaksakan sesuatu hanya karena orang lain bilang begitu. Kalau ada yang bilang "Nanti Tuhan marah dan malah tidak dikasih anak sama sekali", tenang saja. Saya percaya Tuhan pengertian dan tidak pendendam — kasihan mereka yang menganggap Tuhan sejahat itu.