Take it from someone who’s been there, done that: jangan sok idealis sebelum mengalaminya sendiri.
Saya tumbuh dengan terlalu banyak novel chick-lit dan film drama komedi yang akhirnya membuat saya selalu bermimpi akan hal-hal klise: dilamar depan Eiffel (thanks, Adit dan Tita!), white wedding, garden party, cincin dari Tiffany & Co, dan lain-lain. I was a hopeless romantic growing up, and a part of getting older is realizing how absurd some of your dreams are — bahwa melamar dengan tenang di depan Eiffel, butuh keahlian khusus untuk mengusir penjual gantungan kunci, dan bahwa harga cincin merek tersebut tidak masuk akal kalau dibandingkan dengan merek lainnya (I did my research!).
Begitu juga dengan hari pernikahan. Saya selalu ingin pernikahan intim di mana saya tidak perlu menghabiskan tabungan hidup untuk memberi makan orang yang tidak dikenal, gaun putih Vera Wang, dan gedung klasik seperti Katedral Jakarta. Tapi, lagi-lagi, tidak semua mimpi bisa jadi kenyataan. Ternyata, menikah di Katedral Jakarta adalah mimpi bodoh karena: satu, saya Islam, dan dua, ternyata yang saya butuhkan bukanlah kemegahan gedung, melainkan kesakralan dan personal attachment dengan bangunan tersebut.
Ternyata, yang saya inginkan adalah menikah di rumah atau masjid yang sering saya datangi saat kecil. Saya juga baru tahu kalau gaun Vera Wang harganya bisa untuk saya kuliah lagi dan ternyata saya kucel sekali kalau pakai putih. Hal-hal seperti itu yang akhirnya membangunkan saya dari mimpi-mimpi masa kecil.
But nothing slaps you harder than family. And in this case, you have two of them.
Ketika mimpi-mimpi absurd sudah pergi, mungkin kamu sama seperti saya, hobi scrolling Instagram dan Bridestory untuk mencari inspirasi hari pernikahan, dari gaun idaman, tempat yang romantis, hingga katering. You want something simple and pretty, and it all seems to make sense…. until the families chime in.
Ada hal-hal yang baru kamu sadari keribetannya ketika kamu mengurusi persiapan pernikahan: rapat keluarga yang pasif agresif, perdebatan adat apa yang dipakai, "tanggal bagus" yang tidak jelas perhitungannya, hingga siapa yang harus ada di posisi kanan/kiri saat berdiri di pelaminan — karena ternyata, siapa yang disalami duluan ada artinya, bukan hanya sekadar angle kamu yang bagus ada di kanan atau kiri.
Belum lagi serenceng adat yang harus diikuti, dari pertunangan, tarian yang harus kamu bawakan (ngurus deadline aja pusing, sekarang disuruh belajar nari juga??), urusan gelar adat yang mengharuskan kamu punya nama baru, hingga potong kerbau di kampung (padahal kamu tinggal di kota).
Percaya deh, kamu pasti pusing. Bridezilla itu bukan sekedar mitos, tapi kamu tak sendiri, karena akan ada In-laws-zilla, Groomzilla, dan zilla-zilla lainnya. (tip: cari wedding organizer untuk membantumu! Saya beruntung WO saya adalah sahabat sejak SMA, sehingga mereka tahu apa yang saya inginkan, bagaimana cara mengomunikasikannya, dan yang paling penting, menenangkan saya ketika panik)
Akhirnya, persiapan pernikahan adalah masalah kompromi. Kamu mau koar-koar bilang "Duit segini mending buat DP rumah" juga enggak akan didengar dan kalah dengan "martabat keluarga" atau "Nanti orang bilang apa". Tak peduli sebenci apapun kamu dengan kawinan ramai, kalau orang tua sudah bilang "Biar mama yang bayarin", kamu akan terpaksa tutup mulut. In the end of the day, it’s not only your day, it’s also you family and your spouse’s family’s day — and nothing we can do about it.
Tapi saya tidak bilang kamu harus pasrah. You still can make the most of what you can control. Kamu masih bisa punya hari pernikahan impianmu, kok, asal kamu berani bilang bahwa ada hal-hal yang tidak bisa kamu kompromikan. Kalau saya, saya tidak mau diganggu gugat masalah warna baju (saya tidak mau pakai warna putih, misalnya), make-up artist pun saya yang pilih sendiri, begitu juga dengan fotografer, dan yang paling penting, lokasi akad nikah. Untuk hal lain, semua memang butuh kompromi— tidak mudah, tapi bisa dilakukan.
It’s not easy, I promise you. But it’ll be worthwhile especially if you have the right person to go through it with.
Makanya, kalau kamu ingin cepat-cepat menikah hanya karena wishlist Pinterest-mu sudah penuh atau karena kamu ingin punya foto Instagram cantik, mundur dulu deh. Ngurusin hari pernikahan enggak segampang nyanyi Akad-nya Payung Teduh.
—Rappler.com